Kupasan Tentang Kecurigaan dan Kemusykilan Jelas Surah 96 al-'Alaq dalam al-Quran

 

Adakah Surah 96 Terdiri dari Tiga Bahagian?

Berdasarkan kepada tafsir tradisi keislaman mengenai Surah 96, ia terdiri atas tiga bagian: tiga bagian tematis yang masing-masing berdiri sendiri. Keanehan yang musykil ini dipengaruhi oleh dua kerangka kisah-kisah tradisi yang terkenal yang menghadirkan apa yang disebut sebagai "keberadaan pewahyuan" yakni "sebab-sebab untuk wahyu" (asbaabu l-nuzool) untuk bagian pertama sebagaimana juga untuk bagian ketiga secara berurutan (berkesinambungan).

Kerangka cerita ini tidak memiliki dasar di dalam pengucapan naskah per bagiannya masing-masing. Walaupun begitu, dalam kepercayaan serta tradisi Keislaman sendiri, kedua kerangka kisah-kisah tersebut telah menjadi apa yang dianggap sebagai latar belakang sejarah bagi bagian-bagian yang berkaitan (bersangkutan) di dalamnya.

Dalam kasus pertama kerangka non-Qur'anic, dimana tafsiran Keislaman secara tradisional mendapatkan pemikiran utamanya dari kisah sejarah fiktif (kisah-kisah buatan) dimana pada saat penunjukan awal karunia Muhammad sebagai rasul malaikat Jibril terlihat olehnya seakan memberikannya satu naskah dan mendesaknya untuk membacanya. Dari kisah ini penafsiran dua imperatif (kata perintah) awal "iqra", yang diterjemahkan sebagai "baca!", dalam 96:1-5 ditetapkan. Naskah selanjutnya setelah kedua imperatif ini kemudian diambil untuk naskah yang mana malaikat Jibril persembahkan di depan mata calon rasul untuk diceritakan.

Namun pembahagian Islam ortodoks dari Surah 96:1-5 yang dalam hal tersebut hanya memberikan kita dua imperatif "baca!" seperti juga yang kononnya diucapkan oleh malaikat Jibril sementara sisanya adalah naskah yang disingkapkan oleh malaikat untuk dibaca oleh calon rasul, adalah suatu pernyataan yang mentah. Bila ini memang adalah suatu kasus mengapa kemudian sama sekali tidak terdapat indikasi terhadap adanya divisi/pembahagian dari naskah ini, sebagai contohnya imperatif yang pertama mungkin setidaknya diketengahkan dengan beberapa kata seperti :

"Malaikat Jibril berkata kepada Muhammad: 'Ceritakanlah kata-kata yang engkau lihat ini...'"

Karena pendahuluan seperti itu tidak terdapat dalam naskah dan karena kerangka-cerita, - diambil atau malahan dibuat dari luar Quran untuk membentuk inti naskah surah 96:1-5, adalah satu-satunya pengganti bagi pendahuluan yang hilang ini untuk kedua imperatif, kita dapat membayangkan betapa lemahnya kerangka-cerita tradisi Islam untuk dikaitkan dengan teks Quran (1).

Kerangka-cerita lainnya dari Surah 96 dipertalikan oleh pengetahuan Quran muslim kepada bagiannya yang ketiga, ayat 9-19, juga supaya bagian teks ini mendapatkan suatu inti untuk dapat menafsirkannya, adalah berikut ini: Seorang anggota dari umat Muslim Mekah sedang yang berkembang, seorang hamba tidak dikenal ('abd) atau mungkin Muhammad sendiri diduga telah mencoba untuk melakukan ritual sembahyang, namun disebutkan telah dirintangi dalam melaksanakannya (2). Bagian itu, - secara gramatikal dan lexikografikal (berdasarkan kamus) amat sangat bermasaalah-, menyetujui maklumat hukuman Allah terhadap apa yang dianggap penghujatan dalam menghalangi seorang percaya dalam melakukan ritual atau ibadat sembahyangnya.


Karena tidak ada tradisi yang spesifik dan khusus mengenai peristiwa seperti itu, kerangka-cerita ini semestinya dianggap semata-mata sebagai tradisi fiktif (buatan) yang dibesar-besarkan untuk menjadikan bagian ini suatu makna baru yang menyimpang dari bacaan asli yang dimaksudkan berdasarkan teks-rasmnya (yaitu menyerupai teks konsonantal, namun dengan ketidak-jelasannya (keambiguitasan) yang lebih besar dengan melihat kenyataan bahwa beberapa konsonan terlihat serupa terlepas dari tanda-tanda baca pembedanya yang telah ditambahkan kemudian - lihat bawah).

Di antara dua bagian-bagian yang lebih besar, surah 96:1-5 dan 96:9-19 ini, dengan masing-masing kerangka ceritanya yang ganjil akhirnya terdapat bagian yang pendek 96:6-8. Adalah, dengan menilik kepada isinya, dengan arti yang luas seperti itu, dapat dipertalikan bukan hanya terhadap bagian-bagian teks sebelum dan selanjutnya, namun terhadap setiap gagasan keagamaan secara umum. Karena kemudian tidak ada keterkaitan sama sekali yang dapat dilihat antara "kejadian penunjukan rasul" (96:1-5) dan peristiwa mengenai perintangan seorang penganut Muslim yang tidak dikenal ataupun mengenai Muhammad sendiri dari ritual sembahyangnya, isi bagian tengah 96:6-8 ini dapat dipertalikan dengan isi baik dari bagian sebelumnya ataupun selanjutnya, atau bagian tengah ini dapat dianggap terpisah dari keduanya.

Kepelikannya adalah walaupun bagian tengah ini dapat, karena keterkaitan yang hanya secara umum itu, dengan mudah dipahami sebagai suatu pendahuluan terhadap bagian ketiga, namun sebenarnya itu dikaitkan oleh kepercayaan Muslim dengan bagian sebelumnya, "peristiwa penunjukan awal" itu, dimana sebenarnya lebih tidak cocok, tepatnya karena kemudian ditempatkan dalam posisi yang tertunda. Lebih lanjut, adalah suatu aturan yang aneh dari para ahli tata bahasa Arab (sebenarnya yang disimpulkan dari tafsiran mentah Quranis ini sendiri) bahwa istilah bahasa Arab "kallaa", "tidak sama sekali", yang mendahului bagian tengah ini, hanya pernah digunakan sebagai sangkalan dari kalimat sebelumnya. Ini semata memperkuat hubungan yang sulit dimengerti antara bagian tengah Surah 96 dan bagian pertama sebelumnya.

Dalam melihat masalah-masalah tekstual dan komposisional dari Surah 96 ini dan kenyataan memalukan dari para muffasirin Quran Muslim untuk memusnahkannya, dianjurkan secara tegas untuk mengesampingkan kedua kerangka cerita yang hanya ditambahkan dari luar Quran oleh kepercayaan Muslim untuk membuat pentafsiran-semula menjadi mungkin dan untuk mengikatnya pada teks-rasm Surah tersebut.

 

96:1-5: Mulai dengan Abu 'Ubaidah

Untuk memahami surah 96:1-5 mari kita memulai dari perkataan tokoh dan ahli pujangga Muslim terkenal Abu 'Ubaidah (almarhum pada 818 Masehi). Berdasarkan kutipan dari karyanya "Majaz al Qur'an" oleh Al-Farra' (lihat Noeldeke, Geschichte des Qorans, I, 81) Abu 'Ubaidah bersikukuh bahwa kata kerja "qara'a" dalam surah 96:1 (yang secara tradisional ditafsirkan sebagai "baca" "ceritakan") memiliki kesamaan erti dengan kata kerja "dhakara", yaitu "berseru", "nyatakan", "pujikanlah".

Teks yang disampaikan kepada generasi selanjutnya adalah sebagai berikut:

(1) iqra' bi-smi rabbika lladhee khalaqa
(2) khalaqa l-insaana min `alaqin
(3) iqra' wa rabbuka l-akramu
(4) lladhee `allama bi l-qalami
(5) `allama l-insaana maa lam ya`lam

Dan menurut pemahaman tradisional orang harus menterjemahkannya sebagai berikut:

(1) Baca di dalam nama Tuhanmu yang menciptakan
(2) menciptakan manusia dari gumpalan darah [yang diartikan sebagai janin]
(3) Bacalah! Sebab Tuhanmu maha mulia,
(4) yang mengajar dengan kalam
(5) mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.

Sungguh aneh bahwa suatu buku harus menarik pembacanya agar membaca ketika ia memang sedang membacanya - dan bahkan sebanyak dua kali! Karena itu saranan dari Abu 'Ubaida kelihatannya cukup kuat. Sebagai tambahan, Gustav Weil (1808-1889) dan Hartwig Hirschfeld, yang seangkatan Weil, telah menegaskan mengenai hal ungkapan Ibrani "qaara' be-shem Yahwe" ("untuk meninggikan nama Yahwe") yang tersebar dalam kitab Perjanjian Lama sebagai formula dalam upacara ibadah sembahyang demikian dan harus diperhatikan untuk penafsiran surah 96:1.

Maka kita harus memahami/ menterjemahkan:

(1) Tinggikanlah nama Tuhanmu yang menciptakan
(2) menciptakan manusia dari gumpalan darah [diartikan sebagai janin]
(3) Tinggikan! Sebab Tuhanmu maha mulia,
(4) yang mengajar dengan kalam
(5) mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.

Pemahaman dari "iqra' bi-smi rabbika" dalam konteks upacara, "tinggikan nama Tuhanmu" yang bersifat pemujaan ini semakin dikuatkan berdasarkan pertimbangan berikut: "alladhee" adalah mustahil akan selalu pasti sama untuk "dia yang" (atau "yang mana"), namun dalam banyak kondisi memiliki konotasi sebab-musabab. Sebagai contoh hingga saat ini Khutbah (Sholat/ khotbah Jumaat) mulai dengan kalimat "Al-Hamdulillah alladhee..."; daripada hanya menerjemahkan "Pujilah Tuhan yang [telah menjadikan ini dan itu]" akan lebih baik memahami "Pujilah Tuhan karena [Dia menjadikan ini dan itu]". Seperti juga sebaiknya bila kita menerjemahkan:

(1) Tinggikan nama Tuhanmu sebab Ia menciptakan [atau mungkin dalam bahasa yang lebih baik: karena telah menciptakan]
(2) menciptakan manusia dari segumpal darah [diartikan sebagai janin]
(3) Tinggikan! Sebab Tuhanmu maha mulia.
(4) karena Ia mengajarkan [atau: karena telah mengajarkan] dengan kalam
(5) mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.


Itu sudah (dan masih) merupakan pola yang sangat umum dari tradisi doa (Kristen) dimana seseorang yang berdoa lebih dulu berterimakasih kepada Tuhan atas ciptaanNya dan kemudian untuk wahyuNya. Ungkapan ini, tentunya, takkan mungkin bila "iqra" difahami sebagai "baca!".

Sekarang pengulangan "Tinggikan!" terlihat sebagai suatu penggunaan yang disengaja bermaksud untuk menyusun naskah kedalam dua rangkaian dari tiga bagian - rangkaian pertama untuk bersyukur atas ciptaan, yang kedua atas perwahyuan. Untuk menunjukkan susunan ini kita dapat menulis sebagai berikut:

Tinggikan nama Tuhanmu

Karena Ia menciptakan [= karena telah menciptakan]

Menciptakan manusia dari segumpal darah [diartikan sebagai janin]

Tinggikan! Sebab Tuhanmu maha mulia

sebab Ia mengajar [= telah mengajarkan] dengan kalam]

mengajarkan manusia apa yang tidak diketahui nya.

Atau dalam bahasa Arab:

iqra' bi-smi rabbika

lladhee khalaqa

khalaqa l-insaana min `alaqin

iqra' wa rabbuka l-akramu

lladhee `allama bi l-qalami

`allama l-insaana maa lam ya`lam


Bahwa kita ada di jalan yang benar dengan segera menjadi jelas bila kita mengabaikan bagian-bagian akhir yang sebenarnya (dalam posisi pausa) dsb., sebagaimana yang masih dan pernah lazim dalam bahasa Arab asli, puisi, syair dan nasyid populer dsb.:

iqra' bi-smi rabbak

alladhee khalaq

khalaqa l-insaana min `alaq

iqra' wa rabbuka l-akram

alladhee `allama bi l-qalam

`allama l-insaana maa lam ya`lam


Jelas suatu pola sajak dengan dua bait! Adalah munasabah untuk orang patut bertanya-tanya : Apakah seseorang pentafsir dapat menemukan pola sajak yang sama dalam bagian-bagian surah 96 lainnya?

Jika pemikiran ini dapat terbuktikan dengan sesungguhnya - dan pasti akan dibuktikan - perkiraan kami di atas akan dikuatkan: Lupakan saja cerita klise (cliché) yang lazim diperkata-katakan, yang dipakai sebagai kerangka kisah bagi surah 96:1-5, tentang "malaikat Jibril mendesak Muhammad dalam gua di gunung Hira untuk kononnya "membacakan" Qur'an, yang dinamakan surah 96:1-5"!

Pada akhirnya, kami dapat menambahkan usul lainnya: Berlawanan dengan kata benda 'alaqah, yang adalah nomen unitatis (ism al-waHdah, kata benda untuk bentuk tunggal) dan lazimnya digunakan dalam Qur'an, kata benda 'alaq adalah merupakan kata benda dengan arti kolektif (nomen collectivum) dan tidak dapat difahami sebagai (bentuk tunggal) gumpalan darah [ditafsirkan sebagai janin]. Pengertian sebenarnya dari 'alaq adalah hanya "sesuatu yang melekat bersama". Jadi tidak ada pemikiran jauh bahwa 'alaq yang terdapat dalam baris ketiga bait pertama yang digunakan daripada kata Arab yang lazimnya Teen untuk "tanah liat", "lempung", hanya demi untuk sajak, hingga merefleksikan idea lama bahwa manusia diciptakan dari tanah liat - suatu idea yang tidak terbatas kepada Alkitab (Bible) sahaja.

Karena itu kita pada akhirnya dapat mengartikan/ menterjemahkan surah 96:1-5 sebagai berikut:

Tinggikan nama Tuhanmu

Karena telah menciptakan

Menciptakan manusia dari tanah liat.

Tinggikan! Sebab Tuhanmu maha mulia

karena telah mengajar dengan kalam

mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.


96:6-8: Membetulkan Serta Mengkoreksi Sejumlah Besar Kesalahan Gramatikal dan Nahu Arab


Orang patut bertanya-tanya apakah seseorang dapat menemukan pola sajak yang sama dalam bagian-bagian surah 96 lainnya.

Sekilas terlihat mudah untuk menjawab pertanyaan ini secara tegasnya. Lihat surah 96:6-8!

Teks Arab saat ini dalam penulisan Bahasa Inggris adalah seperti berikut:

(6) Kallaa 'inna-l-'insaana la-yaTghaa

(7) 'an ra'aahu-staghnaa

(8) inna ilaa rabbika r-rug'aa

Pola sajak, tentu saja, mengalir. Namun bagaimana tentang rangkaian pemikiran?

Semua terjemahan Inggris (maupun Jerman) yang kita kenal - apakah dari kalangan muslim atau non-muslim - mengikuti penjelasan tradisional Muslim dan menerjemahkan 96:6-7 sebagai :

"Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup" (Yusuf Ali),

dan :

"Tidak, namun sesungguhnya manusia bertidak berlebihan karena ia merasa dirinya bebas" (Richard Bell) atau sama.

96:8 diterjemahkan sebagai

"Lihat, kepada Tuhanlah jalan kembali".


Jadi, rangkaian pemikiran sepertinya tidak berlanjut pada ayat 6-8. (Sebenarnya, akan terlihat lebih melompat bila kita tetap memakai pengertian tradisional dari ayat 1-5 dengan "baca!" bagi iqraa.) Namun mari kita melihat secara detail!

Pemahaman/terjemahan ini menafsirkan kata per kata sebagai berikut:

Kalla "No" - atau saat digunakan untuk sumpah --> "Tentu saja (Indeed)", "Tidak (Nay)" atau seperti 'inna "lihat (look)", seperti "voila" dalam bahasa Perancis - digunakan sebagai "adalah (is)" dengan penekanan

Al-'insaana "orang (the man)", "manusia (the human)"

La-ya Tghaa "dia (benar) melampaui batas"

'an "itu", "di situ"

ra'aahu "ia melihat dirinya sendiri" daripada yang sebenarnya: "ia melihat dia"

(i)staghnaa "ia menganggap dirinya sendiri kaya (he/she/it considered him/her/itself as rich) [karena itu: bebas, berkuasa]"

Walaupun pengertian ayat-ayat 6 dan 8, juga, memungkinkan untuk dipertanyakan, saya membatasi diri kepada perbincangan ayat 7. Seperti yang mungkin telah anda duga, pengertian ayat 7 di atas tergantung pada empat kesalahan gramatikal/nahu:

1. Untuk mengartikan kata sambung konsekutif "an" dengan "karena" adalah tidak tepat. Dalam bahasa Arab yang hakiki, "karena" sebenarnya dinyatakan dengan cara yang lain.

2. "ra'aahu" adalah kata kerja yang sudah dilakukan (perfect tense), bukan sesuatu yang masih berlangsung/ imperfect tense (atau dalam terminologi tata bahasa Eropa: waktu sekarang/ present tense)

3. "ra'a ahu" tidak memiliki arti refleksif. Tidak dapat diterjemahkan dengan " ia melihat dirinya sendiri" atau "ia memikirkan dirinya sendiri", namun dengan " ia melihatnya" atau "ia memikirkannya".

4. "(i)staghnaa" adalah kata kerja yang sudah dilakukan (perfect tense), bukan arti sesuatu yang masih berlangsung/ imperfect tense (atau dalam terminologi tata bahasa Eropa: waktu sekarang/ present tense)

Bagaimanapun, ada kemungkinan untuk mengesampingkan permasalahan-permasalahan ini dengan memperhatikan tata bahasa Arab dan dengan menyadari kepelikan huruf Arab, maksudnya bahwa kita kurang lebih hanya dapat mempercayai rasm (kira-kira: huruf konsonantal). Naskah tua Qur'an secara langsung tidak memiliki tanda-tanda huruf hidup dan diakritikal (tanda pengenal). Tanda-tanda huruf hidup dan tanda-tanda pengenal diulas kemudian. Jadi adalah tidak menyimpang lagi amat munasabah bagi kita membaca teks Arab surah 96 tersebut sebagai berikut:

(6) Kallaa 'anna-l-'insaana la-yaTghaa

(7) 'in ra'aahu-staghnaa

(8) inna ilaa rabbika r-rug'aa

dengan:

'annna "itu" (bila diikuti kata benda)

'in "ketika", "bilamana"


Sekarang ayat-ayat tersebut secara sempurna sesuai dengan nahu dan tata bahasa Arab dan diterjemahkan sebagai:

(6) Tidak, orang itu boleh menjadi sombong,

(7) bilamana dia (manusia) melihat Dia (Tuhan) sebagai yang berkuasa.

(8) Lihatlah, kepada Tuhanlah jalan kembali.


Kesalahan-kesalahan serta kesilapan tata bahasa di atas sekarang dapat diperbaiki:

1. Kata sambung konsekutif "'an" digantikan dengan kata sambung konditional "'in", yang tidak menimbulkan masalah.

2. Kata kerja yang sudah berlangsung (perfect tense) dalam "ra'aahu" sungguh cocok lagi sesuai, karena berdasarkan aturan bahasa Arab dalam kalimat bersyarat perfect tense memiliki arti tidak terbatasi waktu (dan dalam hal ini kata kerja imperfek atau kata kerja yang dipakai untuk masa kini/ present tense).

3. "ra'a ahu" tidak lagi diterjemahkan secara salah sebagaimana menerjemahkan pengertian refleksif.

4. Perfect tense dalam "(i)staghnaa" sudah benar sebagaimana apa yang disebut sebagai "ramalan sempurna" dalam (tanpa batas masa/waktu) penegasan tentang Allah.

Dengan mengumpulkan apa yang telah kita capai sejauh ini kita sampai pada pola puisi Arab yang cukup akrab:

iqra' bi-smi rabbak

alladhee khalaq

khalaqa l-insaana min `alaq

iqra' wa rabbuka l-akram

alladhee `allama bi l-qalam

`allama l-insaana maa lam ya`lam

Kallaa 'anna-l-'insaana la-yaTghaa

'in ra'aahu-staghnaa

inna ilaa rabbika r-rug'aa

Atau dalam Bahasa serumpun kita :

Tinggikan nama Tuhanmu

karena telah menciptakan

menciptakan manusia dari tanah liat.

Tinggikan! Sebab Tuhanmu maha mulia

karena telah mengajarkan dengan kalam

mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.

Tidak, bahwa manusia dapat menjadi sombong,

Bilamana ia [manusia] melihat Dia [Tuhan] sebagai yang berkuasa.

Lihat, kepada Tuhanlah jalan kembali.


Kita mungkin menjadi lebih bertanya-tanya daripada sebelumnya - apakah kita boleh mendapatkan pola sajak yang sama dalam bagian-bagian lain dari surah 96 ?

 

Hasil kupasan

Daripada mengenengahkan semua langkah dan pertimbangan selanjutnya dalam mendapatkan kembali teks dan arti surah 96 yang asli kami akhirnya hanya mengetengahkan hasilnya saja: satu jenis zikir atau nasyid berbait yang indah dalam bahasa Arab asli, yang tidak lagi jatuh ke dalam bagian-bagian yang terlepas dan dengan pola sajak yang jelas:

Bacaan Tradisional dan yang direkonstruksi (Teks Arab) dari Surah 96

Bacaan yang direkonstruksi (Teks Arab yang disalinkan kembali) dari Surah 96

Terjemahan teks asli bahasa Arab dari Surah 96 yang direkonstruksi adalah sebagai berikut:

Tinggikan nama Tuhanmu

Yang menciptakan (=karena telah menciptakan),

menciptakan manusia dari tanah liat.

Tinggikan! Sebab Tuhanmu maha baik

yang mengajarkan (=karena telah mengajarkan) dengan kalam,

mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.

Tidak sama sekali manusia dapat menjadi sombong

saat pernah ia melihat Dia secara berkuasa bebas!

Lihat, kepada Tuhanlah tempat perlindungan!

Pernahkan engkau melihat

bahwa Ia mengingkari

seorang hamba (Tuhan) ketika ia sembahyang?

Pernahkah engkau melihat?

- ketika ia berpegang teguh pada syahadat?

- atau berbicara sebagaimana seorang yang takut akan Tuhan?

Pernahkan engkau melihat

bahwa Ia menghianati dan berpaling?

Tidakkan engkau menyadari bila Tuhan melihat?

Tidak sama sekali! Jika Dia tidak diberikan damai (melalui sembahyang),

sungguh Ia akan terengut

dengan gombakNya (= dengan kehormatanNya)!

(Keterangan terakhir "gombak kebohongan penuh dosa" dibatalkan.)

Maka berserulah untuk kebesaranNya!

Engkau kemudian akan memanggil bala malaikat yang tinggi!

Tidak sama sekali! Jangan memegahkan diri terhadapNya!

Tunduk (untuk bersembahyang) dan mendekatlah!

(=Ringkasan atau judul Surah 96)

 

Cuba perhatikan sejumlah banyak pengulangan kata-kata sebagai alat penyair yang pintar untuk membuat bagian-bagian berbeda dari syairnya seakan tersusun dengan sengaja dalam hubungan yang rapi antara satu dengan yang lainnya yang dengan demikian menghasilkan jalinan pemikiran yang luarbiasa, yang secara artistik saling berkaitan yang mengikat menyatukan kesemua struktur jenis zikirullah atau sejenis nasyid.

Dengan mempertimbangkan teks-rasm yang diberikan -yang belum diubah-dan dalam bentuk aslinya, sajak / nasyid yang benar-benar menakjubkan ini tak kan pernah dicapai dengan pentafsiran semula yang disengaja.

Oleh karena itu sebelumnya sudah dilengkapkan bukti yang tidak terbantahkan bahwa teks-rasm yang diteruskan dalam batas tertentu, dan jika dipertahankan berdasarkan dan oleh karena pentafsiran semula (pentafsiran ulang) yang salah lebih dari satu millenium, mengakui hanya dan cuma tafsiran yang semula memang dimaksudkan.

Catatan-catatan dan Referensi

(1) Kerangka kisah penunjukan awal Muhammad sebagai rasul (yang diduga ada pada akhir ayat 96:1-5) sudah diajukan untuk penelaahan secara terperinci oleh Tor Andrae seorang theolog dan ahli Islam dari Sweden pada tahun 1912 dalam artikelnya "Die Legenden von der Berufung Muhammeds" ("Legenda karir Muhammad"), Le Monde Oriental 6 (1912), 5-18. Ini menjadi jelas bahwa kerangka-kerangka cerita yang sama ini menjadi subyek penemuan dan legenda kepercayaan Muslim.

(2) Muhammad Taqi ud-Din Al-Hilali dan Muhammad Muhsin Khan dalam karya terjemahan Qur'an mereka yang terkenal mengidentifikasikan orang yang diduga perusuh ini sebagai Abu Jahl.


Indeks Utama