Adakah Agama Yang Sejati?

Oleh: Dallas M. Roark, Ph.D

 

Jika kita menginginkan agar diskusi mengenai agama yang sejati menjadi sesuatu yang bermakna, maka diskusi itu harus mempunyai titik awal obyektif. Jelasnya, diskusi itu harus paralel dengan metode ilmiah. Kita tidak dapat memulainya dengan faktor yang diberikan begitu saja pada kita. Titik awal itu haruslah merupakan sesuatu yang dapat diterima dan dimiliki oleh semua orang. Ia tidak dapat berasal dari sudut pandang suatu kitab suci tertentu. Tidaklah bermanfaat bagi orang Kristen untuk mengutip Alkitab untuk seorang Muslim, atau seorang Budha apabila salah satu atau kedua agama tersebut menolak Alkitab sebagai kitab yang berotoritas. Jika kita harus berhadapan dengan pertanyaan mengenai agama yang sejati, kita harus memulainya sebelum kitab-kitab itu digunakan. Kita tidak dapat memulainya dengan praduga bahwa satu agama tertentu lebih baik dari agama lainnya. Ravi Zacharias mengatakan bahwa besar kemungkinan semua agama adalah palsu daripada semua agama adalah benar. Ada terlalu banyak kontradiksi di antara sistem-sistem keagamaan. Di jaman akurasi politik seperti saat ini, nampaknya perkataan sopan yang harus disampaikan adalah bahwa semua agama adalah sama, dan semua agama mempunyai tujuan yang sama. Hanya orang-orang yang tidak tahu apa-apa yang akan berkata seperti itu.   

Blaise Pascal, seorang ilmuwan Perancis dan seorang jenius dalam hal agama pada abad ke-17, mengusulkan sebuah poin awal untuk mendiskusikan isu mengenai agama yang sejati, yang mungkin dapat diterima oleh semua orang.

Pascal berusaha untuk mengemukakan proposisi-proposisi tertentu, berdasarkan pada observasi dan sebagai bagian dari nalar, yang akan menolong orang untuk menemukan agama yang sejati, apabila agama yang sejati itu memang ada. Walaupun Pascal tidak pernah menyelesaikan usulan karyanya, potongan-potongan pemikirannya  (Pensées)  telah menjadi salah satu literatur klasik dunia. Pendekatan Pascal memiliki fitur yang dapat diterima oleh semua orang: setiap orang dapat melihat, mengobservasi, dan menarik kesimpulan-kesimpulan dari tempat dimana ia berdiri. Ini benar-benar merupakan suatu metode induktif.  (Harus dikatakan bahwa pendekatan Pascal bersifat pre-yudisial karena ia berasal dari tradisi Kristen, sehingga harus diingat bahwa prinsip-prinsip ini bukanlah produk iman Kristen.  Apakah prinsip-prinsip ini benar atau salah tidak bergantung pada apakah seseorang adalah Kristen atau tidak. Prinsip-prinsip tersebut berhadapan dengan fakta-fakta yang dapat didiskusikan dalam konteks agama apapun. Pertanyaan-pertanyaan ini tidaklah lazim bagi semua orang, dan dapat diverifikasi dari pengalaman semua orang).

Pascal berpendapat bahwa agar suatu agama dapat dikatakan sebagai agama yang sejati, maka agama itu harus memberikan jawaban yang memuaskan dan tepat terhadap kriteria berikut ini. 

1. Agama yang sejati mengajarkan ketersembunyian Tuhan: sangatlah jelas bahwa Tuhan itu tidak dapat dipahami oleh persepsi sensori. Tuhan bukanlah sebuah obyek yang telah dianalisa di laboratorium. Jika Tuhan itu eksis, Ia eksis dalam semacam keadaan atau bentuk yang tersembunyi; karena kita tidak dapat melihat-Nya. Berkenaan dengan hal ini, Pascal menulis, “Maka Tuhan itu tersembunyi sehingga setiap agama yang tidak mengafirmasi bahwa Tuhan itu tersembunyi adalah agama yang tidak benar, dan setiap agama yang tidak memberi alasan mengenai hal itu, tidaklah instruktif.” (Pascal, Pensees, h. 191.) Ketersembunyian Tuhan, atau dalam istilah Latin, Deus absconditus, adalah poin awal bagi dialog di antara tradisi-tradisi religius.     

Ini adalah kebenaran umum yang dapat disepakati semua. Orang Muslim, Budha, Hindu, Kristen, Yahudi, dan siapapun juga, tidak dapat melihat Tuhan. Kita dapat melihat pada penerapan-penerapannya.

Dalam menerapkan prinsip ini, kita dapat memulainya dengan sistem-sistem religius panteistik. Definisi populer dari panteisme adalah “segala sesuatu atau segala makhluk adalah moda, atribut, atau penampakan dari satu realitas tunggal Keberadaan/Makhluk; oleh karena alam dan Tuhan diyakini sebagai identik." (Van Harvey, Handbook of Theological Terms (New York: The Macmillan Co., 1964), h. 173)

Manusia sebagai pengamat tidak dapat membuat kesimpulan berdasarkan pengujiannya akan realitas bahwa alam dan Tuhan itu identik. Untuk menjadi seorang Panteis, orang harus membawa sesuatu dengan observasinya; yaitu, keyakinan bahwa Tuhan dan Alam adalah satu. Ia tidak akan mendapatkan hal ini hanya dari alam. Panteisme berkaitan dengan eksistensi manusia, yang berarti bahwa manusia adalah bagian dari esensi ilahi. Manusia adalah percikan keilahian. Namun sekali lagi, ini bukanlah sesuatu yang kita ketahui melalui observasi, melalui penglihatan, sentuhan atau pengetahuan yang didapat sendiri. Bisa jadi itu adalah pembengkokan besar dari pengetahuan yang didapat sendiri. Hanya ada dua hal yang dapat diterima oleh nalar yaitu: Tuhan itu tersembunyi, atau tidak! (Dalam mengemukakan alternatif radikal seperti ini, harus ada referensi terhadap “bukti-bukti”  eksistensi Tuhan. Pengetahuan yang dapat kita peroleh dalam argumen tersebut adalah suatu pengetahuan akan bagian terbanyak yang berdasarkan pada “efek-efek” atau karya Tuhan. Itu bukanlah pengetahuan yang akan memberikan arahan bagi hidup, dan juga tidak memberikan intimasi bahwa Tuhan itu mengasihi atau menebus manusia. Survey mengenai bukti-bukti tradisional akan eksistensi Tuhan dapat ditemukan di: http://www.emporia.edu/socsci/philos/chp17.htm.)

Panteisme itu berbahaya karena manusia  dibawa untuk mempunyai pandangan yang terlalu optimistik mengenai naturnya sendiri. Panteisme terperangkap dalam berusaha untuk menjelaskan kejahatan sebagai sebuah ilusi, atau pikiran yang salah, jika tidak demikian ia secara logis mempersalahkan Tuhan karena Tuhan adalah segala sesuatu dan kejahatan adalah bagian dari sifat-Nya. Kraemer menegaskan bahwa  hasil dari panteisme adalah bagian-bagian dari Hinduisme, yaitu bahwa “Tuhan atau Yang Ilahi itu tidak pernah benar-benar eksis.” (The Christian Message in a Non-Christian World, h. 162)

Satu-satunya hal yang benar-benar dialami orang adalah hati nurani manusia yang dipandang sebagai yang terbaik. Tetapi secara paradoks, agama-agama yang mengidentifikasi manusia dengan Tuhan dalam beberapa bentuk panteistik adalah agama-agama yang tidak menerima inkarnasi sejati, dalam mana Tuhan menjadi manusia. (Avatar dalam Hinduisme sangatlah berbeda dengan inkarnasi dalam kekristenan, karena inkarnasi berarti Tuhan menjadi manusia sejati. Avata adalah sebuah “personifikasi mitologis sesosok dewa untuk tujuan praktis, sedangkan keilahian yang sejati adalah esensi murni yang tidak beratribut dan tidak bertindak.” (Ibid., h. 370-71)

Dalam cara yang berbeda, prinsip Pascal ini terlihat dalam pengajaran-pengajaran klasik Budha dan Konfusius seperti yang kita ketahui. Tak satupun dari para pendiri agama ini yang berminat dalam mendiskusikan eksistensi Tuhan. Untuk tujuan-tujuan praktis, Gautama dan Konfusius adalah non-theis. Pada waktunya, tidak hanya para pendiri agama itu ditinggikan menjadi Tuhan, namun ada sesembahan lainnya lagi yang ditambahkan. Gautama tidak bisa dikatakan telah menerima “wahyu ilahi”. Apa yang terjadi adalah bahwa ia datang untuk melihat kebenaran mendasar mengenai natur penderitaan, alasan adanya  penderitaan, dan kemungkinan untuk mengelakkan diri dari penderitaan. Ajarannya adalah suatu pemahaman mengenai jalan menuju kebahagiaan jika orang memandang kebahagiaan sebagai pintu untuk meloloskan diri dari hasrat. Namun demikian, telah diobservasi bahwa bahkan hasrat untuk melepaskan diri sendiri dari hasrat, pun adalah hasrat. 

Pengajaran Konfusius tidak lebih daripada suatu bentuk humanisme kuno. Ia menyatakan bahwa “absorpsi dalam studi mengenai supranatural adalah hal yang paling berbahaya.” (Lionel Giles, The Sayings of Confucius (London: John Murray, 1917), h. 94)

Dalam gaya humanis sejati, Konfusius menjelaskan kejahatan sebagai keegoisan manusia, delusi dan ketidakmampuan. Ketika seorang murid bertanya padanya mengenai kematian dan pelayanan roh-roh, ia menjawab, “Hingga kamu telah belajar bagaimana melayani manusia, bagaimana kamu dapat melayani hantu-hantu?...Hingga kamu mengetahui mengenai yang hidup, bagaimana kamu dapat mengetahui yang sudah mati?” (Edward J. Jurji, The Christian Interpretation of Religion (New York: The Macmillan Co., 1952), h. 183)

Ironinya adalah, baik Gautama maupun Konfusius, yang hanya sedikit berbicara mengenai apakah Tuhan itu eksis atau tidak, dijadikan sebagai sesembahan oleh para pengikut mereka yang kemudian.

Dalam kasus Islam, yang ilahi itu tersembunyi tetapi tidak ada penjelasan mengapa Ia tersembunyi, yang berkaitan dengan bagian kedua dari proposisi Pascal. Qur’an tidak mengenal Tuhan Yang Suci yang menyembunyikan diri-Nya oleh karena keberdosaan manusia. Islam adalah suatu bentuk agama yang moralistik, rasionalistik, dan menekankan pada usaha untuk mendapatkan pembenaran dan penerimaan Tuhan. Kraemer mengatakan bahwa Islam adalah “agama legalistik dalam mana segala sesuatunya bergantung pada upaya-upaya orang-orang beriman dan apakah ia menggenapi tuntutan-tuntutan dari Hukum Ilahi. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa, suatu agama yang tercipta dari suatu bentuk – atau diwarnai oleh suatu bentuk – pembebasan oleh diri sendiri, pembenaran oleh diri sendiri dan pengudusan oleh diri sendiri, pada akhirnya tidak mempunyai dasar yang teguh dan tetap.” (Kraemer, Why Christianity of All Religions?, h. 105)

Ketersembunyian Tuhan menuntut suatu konsep baru yang radikal mengenai Tuhan harus dibuktikan dalam penjelasan. Konsep mengenai Tuhan ini hendaknya bukan merupakan suatu konstruksi pikiran manusia, karena manusia tidak dapat mengeluarkan apa yang tersembunyi oleh karena ketersembunyian berkaitan dengan Tuhan. Jika kita ingin mengetahui alasan dari Tuhan itu tersembunyi, itu tidak dapat ditemukan dari dalam pikiran manusia. Jawabannya harus datang dari Tuhan yang tersembunyi itu. Ini hanya dapat dimungkinkan dengan gagasan mengenai pewahyuan. Oleh karena Budhisme, Hinduisme, Konfusianisme dan Taoisme tidak mengklaim pewahyuan, maka tidak ada perkataan dari Tuhan yang tersembunyi. Sehubungan dengan Budhisme dan Hinduisme, yang ada hanyalah meditasi, bukan pewahyuan. 

Ada tempat dimana alasan ketersembunyian Tuhan itu dinyatakan. Imamat 11:45 berbunyi “Sebab, Akulah YAHWEH yang telah membawamu keluar dari tanah Mesir untuk menjadi Elohimmu, maka kamu menjadi kudus, sebab Aku ini kudus”. Kekudusan menuntut adanya pemisahan dari dosa-dosa kaum pagan dan para penyembah berhala di sekitar mereka. Kekudusan menuntut kemurnian moral pribadi dalam hidup dan ketika orang Israel terus-menerus memberontak terhadap Tuhan, Ia menarik diri dari mereka dan membawa mereka kepada penghakiman atas dosa-dosa mereka. Yeremia menulis, “Kejahatanmu akan mengajar engkau, dan kemurtadanmu akan menegur engkau, dan ketahuilah serta lihatlah bahwa yang jahat dan pahit adalah dengan meninggalkan YAHWEH, Elohimmu” (2:19). “Dosa-dosamu telah menahan kebaikan dari padamu” (5:25). Puncak dari hal ini digambarkan dalam Surat Roma yang menceritakan bagaimana Tuhan menyerahkan mereka untuk mengikuti jalan mereka sendiri menuju penghancuran diri mereka sendiri. 

Konsep Deus absconditus (atau ketersembunyian Tuhan) erat berhubungan dengan alasan mengenai ketersembunyian itu. Mengingat penjelasan Pascal mengenai ketersembunyian Tuhan ada pada dosa manusia. Jika dosa tidak dipandang secara serius, identifikasi manusia dengan yang ilahi menjadi mudah. Jika dosa adalah suatu tindakan yang serius dan berat terhadap yang ilahi, suatu tindakan etis dan penyimpangan etis, maka tidak mungkin untuk mengidentifikasi manusia dengan Tuhan. Perbedaan kualitatif antara Tuhan dan manusia harus ditekankan. Pada umumnya, tradisi-tradisi religius dunia gagal menyikapi konsep dosa dengan serius (Perhatikan komentar Jurji mengenai Islam, yang mengabaikan gagasan mengenai seorang penebus “terutama karena Islam sama sekali tidak mengenal dosa mula-mula dan pendiri serta para penafsirnya tidak mempunyai kejelasan mengenai problem kejahatan dan mengabaikan kebutuhan jiwa akan pengampunan, seorang Juruselamat pribadi, dan doa-doa sebagai hubungan intim yang sangat penting dengan Sang Kekal.” (op. cit., h. 256)

Brunner mengatakan, “Akibat dari agama tanpa dasar sejarah, agama tanpa seorang mediator, adalah kegagalan untuk mengakui karakter radikal dari kesalahan dosa. Itu adalah suatu usaha untuk menciptakan sebuah hubungan dengan Tuhan yang tidak memandang kenyataan akan rasa bersalah.” (Emil Brunner, The Christian Doctrine of the Church, Faith and the Consummation, trans. David Cairns and T. H. L. Parker (Philadelphia: Westminster Press, 1962), h. 7)

Dalam konsep mengenai ketersembunyian Tuhan, kita tidak dapat menyimpulkan bahwa Tuhan itu kudus atau bahwa Ia adalah kasih. Ini adalah pesan yang harus datang dari Tuhan kepada manusia; dan tidak berasal dari manusia.

“Pesan bahwa Tuhan adalah Kasih adalah sesuatu yang benar-benar baru di dunia. Kita memahami hal ini jika kita berusaha untuk menerapkan pernyataan ini kepada ilah-ilah berbagai agama dunia: Wotan itu Kasih, Zeus, Jupiter, Brahma, Ahura Mazda, Vishnu, Allah itu Kasih. Kesemua kombinasi ini sangat mustahil. Bahkan Tuha yang diajarkan Plato, yang adalah punsak dari semua yang Baik, bukanlah Kasih. Plato bisa saja memandang pernyataan ‘Tuhan adalah Kasih’ dengan geleng-geleng keheranan.(Ibid., h. 200)

Brunner melanjutkan dengan mengatakan bahwa adalah mungkin untuk menemukan Tuhan yang “Pemurah” dalam beberapa agama dunia, “tetapi kenyataan bahwa Tuhan itu Kasih, dan oleh karena itu kasih adalah esensi dasar dari Natur Tuhan, tidak pernah secara eksplisit dikatakan dimanapun, dan masih sangat kurang sekali dinyatakan dalam penyerahan diri sendiri yang ilahi. Tuhan dari agama Bhakti, yang seringkali dianggap paralel dengan iman Kristen, ‘pada dasarnya – dalam hubungan-Nya dengan Dunia, sangat tidak berminat’”. (The Christian Message in a Non-Christian World, h. 172) 

Sebagai konklusi dari bagian ini, kita harus mengafirmasi ketersembunyian Tuhan. Jadi jika Tuhan itu tersembunyi, kita harus mengetahui alasannya. Ini berarti bahwa jika kita ingin mengetahui tentang Tuhan dan seperti apa Dia, pengetahuan ini tidak akan ditemukan dalam apapun selain dari Tuhan sendiri yang berbicara. Oleh karena Tuhan itu tersembunyi, kita harus menolak pendekatan-pendekatan semacam itu terhadap hidup keagamaan yang mensetarakan manusia dengan Tuhan. Jika Tuhan itu tersembunyi, alasan mengenai ketersembunyian-Nya akan disampaikan sendiri oleh Tuhan dan tidak dapat ditemukan oleh upaya manusia semata. Pertanyaan penting yang muncul disini adalah: apakah Tuhan telah berbicara dengan cara yang jelas mengenai hal-hal ini? Ini akan dijawab kemudian. 

2. Agama yang sejati harus menjelaskan kesengsaraan manusia: 

Pascal menulis, “Agar sebuah agama dikatakan sebagai agama yang benar, ia harus mempunyai pengetahuan mengenai natur kita. Ia harus mengetahui kebesarannya dan kekurangannya, dan alasan untuk kedua hal itu” (Pensées 433).  Dalam Pensées 493, ia menulis, “Agama yang benar mengajarkan kewajiban-kewajiban kita; kelemahan-kelemahan kita, kesombongan kita, dan nafsu kita; dan obat untuk itu, kerendahan hati dan mortifikasi”. Pemahaman Pascal mengenai natur manusia adalah sesuatu yang dapat secara alamiah bertumbuh dari observasi induktif. Mengenai manusia ia menulis, “Sungguh suatu angan-angan! Seekor monster, sebuah kekacauan, sungguh suatu kontradiksi, sebuah prodigy! Hakim atas segala sesuatu,”   cacing tolol dunia ini; pembenaman kebenaran, timbunan ketidakpastian dan kesalahan; kesombongan dan penolakan alam semesta!" (Pensées 434, h. 143)

Sejarah manusia memberikan banyak bukti bahwa ada sesuatu yang salah dengan manusia. Mengapa ada peperangan, pembunuhan, intrik, rancangan jahat, kebencian, eksploitasi, dan keserakahan manusia? Penjelasan apa yang dapat kita berikan terhadap semua kesalahan yang dilakukan orang terhadap sesamanya? Mengapa ada pertikaian dalam keluarga, komunitas, suku dan bangsa? Mengapa kejahatan-kejahatan masa lalu diturunkan pada generasi baru seakan hal itu terjadi pada mereka? Ada yang mengatakan bahwa jika doktrin dosa mula-mula belum pernah diketahui maka mestinya hal itu telah diciptakan. Ada sesuatu yang benar-benar salah dengan umat manusia. 

Apakah jawaban yang paling tepat untuk kesengsaraan manusia? Jawaban Pascal ditemukan dalam kata sederhana yang penuh makna yaitu “dosa”. Telah kita katakan bahwa dosa sebagai sebuah konsep kurang mendapat tempat dalam pemikiran religius dunia ini. Disini ada kesalahpahaman yang dapat muncul jika kita tidak berhati-hati. Dalam banyak agama, bergantung pada orientasi mereka, dosa tidak dimengerti dalam kerangka etis. Dosa adalah sebuah perbuatan non etis, atau suatu cara berpikir yang keliru yang menghalangi seseorang dari mencapai persatuan dengan dunia batin. Dalam pemikiran Hindu, sebagai contoh, dosa adalah pikiran yang terus menerus keliru mengenai eksistensi aktual individualitas. Dosa seperti ini tidaklah bersifat etis namun merupakan pengetahuan yang salah. Dalam pengertian ini, dosa dapat didefinisikan sebagai maya, atau ilusi. Situasi yang mirip terjadi pada Christian Science di Amerika. Dosa adalah kekeliruan dalam berpikir.    

Berkaitan dengan dosa, seperti yang terlihat dalam bentuk-bentuk tertentu dari Hindu bhakti, Kraemer  mengemukakan,  “Dosa dalam agama-agama ini bukanlah hasil dari sikap manusia yang berpusat pada diri sendiri dan kehendak manusia yang salaharah yang bertentangan dengan kehendak Tuhan yang kudus dan benar, tetapi suatu upaya realisasi persekutuan jiwa dengan Ishvara, dimana ada keselamatan di dalamnya.” (Ibid., h. 172)

Saat orang menggali lebih dalam ke dalam natur yang sesungguhnya dari ekspresi-ekspresi religius, ia akan dapat melihat bahwa dosa secara umum dipandang sebagai hal yang benar-benar tidak penting dan banyak agama sesungguhnya hanyalah merupakan sarana dari “upaya diri sendiri untuk menebus, membenarkan diri, dan menguduskan diri” (Why Christianity of All Religions?, h. 94); ini adalah konsep-konsep yang pada dasarnya mengabaikan dosa.   

Dengan mengikuti petunjuk Pascal, kita dapat menyimpulkan bahwa hanya ada satu konsep yang tepat untuk menjelaskan kesengsaraan manusia saat kita meneliti permasalahan-permasalahan manusia, dan itulah dosa yang merupakan pemberontakan yang dilakukan dengan sadar terhadap Tuhan yang kudus. Keberdosaan manusia telah menyebabkan manusia membengkokkan ibadah religiusnya. Ia telah berpaling dari Sang Pencipta kepada ciptaan dan menyembah sapi atau binatang-binatang lainnya, sementara anak-anaknya menderita karena kekurangan protein. Ia telah merampas makanan dari bayi-bayinya yang kelaparan dan memberikannya kepada berhala yang tidak memakan makanan itu. Kelaparannya tidak berkaitan dengan ketidakpeduliannya terhadap teknologi modern semata; agamanya, dengan definisi yang tidak tepat terhadap dosa dan penekanannya, banyak menjelaskan mengenai kesengsaraannya. Dalam dunia ini, ada banyak agama yang buruk, demikian pula sebaliknya.  

Dalam menyimpulkan bagian ini, kita harus mengatakan bahwa kedua proposisi ini saling bersesuaian. Definisi serius mengenai dosa adalah penjelasan mengapa Tuhan itu tersembunyi. Ia tersembunyi dalam hubungan-Nya dengan manusia karena dua alasan, yaitu: pertama, Ia kudus, dan natur-Nya bertentangan dengan dosa; kedua, ketersembunyian-Nya adalah bagi perlindungan manusia. Jika kekudusan Tuhan dinyatakan kepada manusia dalam keberdosaannya, maka manusia itu tidak akan dapat hidup. Kemurahan dan kasih-Nya kepada manusia memberikan alasan bagi pengunduran diri-Nya dari hadapan manusia. Oleh karena Ia tersembunyi maka kita hanya dapat mengetahui mengenai dosa terhadap Dia, oleh karena Ia sendiri yang menyatakannya kepada manusia.

3. Agama yang sejati harus mengajarkan bagaimana manusia dapat mengenal Tuhan yang tersembunyi, atau memberikan obat bagi keterasingannya dan kesengsaraannya:   

Pascal mengemukakan, “Agama yang sejati, oleh karena itu, harus mengajarkan kita untuk hanya beribadah kepada-Nya, dan hanya mengasihi-Nya. Tetapi kita mendapati diri kita sendiri tidak mampu menyembah apa yang tidak kita ketahui, dan tidak mampu mengasihi obyek lain selain diri kita sendiri. Agama yang menginstruksikan  kepada kita kewajiban-kewajiban ini harus juga menginstrusikan kita ketidakmampuan ini, dan juga memberitahu kita obat untuk hal itu.” (Pensées 489)

Dalam  Pensées 546, [Pascal]  mengatakan, “Kita hanya mengenal Tuhan melalui Yesus Kristus. Tanpa Sang Pengantara ini semua penyatuan dengan Tuhan dirampas: melalui Yesus Kristus kita mengenal Tuhan ... maka dalam Dia, dan melalui-Nya, kita mengenal Tuhan. Tanpa Dia, dan tanpa Alkitab, tanpa dosa mula-mula, tanpa adanya pengantara yang dijanjikan, dan yang datang, kita benar-benar tidak dapat membuktikan Tuhan, tidak juga mengajarkan doktrin yang benar dan moralitas yang baik.... Maka Yesus Kristus adalah Tuhan yang sejati bagi umat manusia. Tapi pada saat yang sama kita mengetahui kebusukan kita; karena Tuhan yang satu ini tidak lain tidak bukan adalah Juruselamat bagi kejahatan kita. Maka kita hanya dapat mengenal Tuhan dengan baik dengan mengetahui kesalahan-kesalahan kita”. 

Dalam Pensées 555, ia menulis, “Semua yang mencari Tuhan tanpa Yesus Kristus, dan yang puas dengan alam, tidak menemukan terang untuk memuaskan mereka, dan juga tidak dapat menyusun bagi diri mereka sendiri suatu sarana untuk mengenal Tuhan dan melayani-Nya tanpa seorang pengantara”.    

Gagasan mendasar yang ada disini adalah perlunya seorang pengantara. Manusia dalam tradisi-tradisi religiusnya mengabaikan eksistensi Tuhan dan juga membuat agama menjadi suatu cara hidup dan pencapaian manusia untuk “mendapatkan” Tuhan, atau berasumsi bahwa orang dapat masuk dalam persekutuan dengan Tuhan melalui beberapa pengalaman mistik yang mengabaikan kekudusan Tuhan. Dalam semua upaya ini, untuk masuk ke dalam hubungan dengan Tuhan, dua proposisi yang pertama diabaikan. Tuhan  tidak membutuhkan kegiatan-kegiatan religius  manusia yang sombong, juga Ia tidak akan dipersatukan dalam pengalaman mistik dengan manusia jahat yang penuh dosa. Tuhan yang menerima hal seperti itu bukanlah Tuhan yang kudus.

Namun demikian, jika Tuhan benar-benar tersembunyi seperti yang dinyatakan oleh observasi dan pengalaman, maka mustahil bagi manusia untuk menemukan-Nya melalui pencaharian. Tuhan harus datang kepada manusia tetapi Tuhan tidak mempunyai alasan mendasar bagi Inkarnasi. Manusia dalam kejahatan dan dosanya tidak dapat masuk ke dalam hadirat Tuhan yang kudus.

Perlunya seorang pengantara ditekankan oleh Soren Kierkegaard  dalam buku kecilnya yang berjudul Philosophical Fragments. Ia menceritakan sebuah kisah tentang seorang raja yang jatuh cinta dengan seorang gadis yang sederhana. Ia adalah seorang raja yang perkasa; semua bangsa takut akan murkanya. Namun, sama seperti semua pria pada umumnya, baginya sangatlah penting untuk mendapatkan gadis yang tepat untuk dijadikan istri. Terbersit dalam pikirannya sebagai seorang raja: Mampukah gadis itu tetap tidak melupakan apa yang diinginkan raja,  tidak lupa bahwa raja adalah raja dan ia hanyalah seorang gadis sederhana? Sang raja sangat gelisah jika si gadis tidak merenungkan hal ini dan kehilangan sukacitanya. Jika pernikahan itu tidak sepadan, keindahan cinta mereka akan hilang.

Sejumlah pilihan diberikan kepada sang raja. Pertama, ia dapat meninggikan status gadis itu ke sisinya dan melupakan ketidaksetaraan. Tetapi senantiasa ada kemungkinan terbersit dalam hati si gadis bahwa ia hanyalah orang biasa dan pria itu adalah raja. Pernikahan itu dapat dilaksanakan, namun kasih tidak dapat dilestarikan atas dasar kesetaraan.

Kedua, sebagai sebuah alternatif, ada yang menyarankan agar raja dapat menyatakan dirinya sendiri pada gadis itu dalam segala kebesarannya, keagungan dan kemuliaannya dan gadis itu akan tersungkur dan menyembahnya dan direndahkan dengan kenyataan bahwa begitu besar karunia yang dianugerahkan kepada si gadis itu. Terhadap hal ini tidak diragukan lagi menuntut eksekusi atas orang yang memberi saran itu sebagai sebuah pengkhianatan besar terhadap yang dikasihinya. Raja tidak dapat memasuki sebuah hubungan seperti ini. Ini adalah dilema seorang raja. (Dewasa ini ada banyak budaya religius yang memaksa orang untuk tunduk. Penyembahan yang dipaksakan seperti itu adalah suatu penghinaan terhadap yang disembah itu).

Solusi datang dari pilihan yang ketiga. Raja harus lengser dan dengan demikian menyerahkan tahtanya untuk menjadi orang biasa dengan tujuan untuk mengasihi gadis itu dalam kesetaraan.

Kierkegaard menerapkan kisah ini pada hubungan Tuhan dengan manusia. Tuhan hanya dapat meninggikan manusia ke dalam hadirat-Nya dan mentransfigurasi diri-Nya untuk memenuhi hidupnya dengan sukacita kekal. Tetapi sang raja, yang mengetahui hati manusia, tidak akan menerima hal ini, karena hal ini hanya akan berakhir dengan menipu diri sendiri. Terhadap hal ini Soren Kierkegaard mengatakan, “Tidak seorangpun yang begitu tertipu sama seperti orang yang tidak mencurigai hal itu.” (Philosophical Fragments, h. 22)

Di sisi lain, Tuhan bisa saja mendapatkan penyembahan dari manusia, “menyebabkannya melupakan dirinya sendiri oleh karena suatu penampakan ilahi.” (Ibid., h. 22) Prosedur seperti ini mungkin tidak akan menyenangkan manusia, dan juga raja, “yang tidak menginginkan kemuliaan bagi dirinya sendiri namun bagi gadis itu”. Ini adalah pilihan yang mustahil oleh karena kekudusan Tuhan.

Berkenaan dengan hal ini, Soren Kierkegaard mengatakan, “Suatu ketika hiduplah suatu kaum yang mempunyai pemahaman yang mendalam mengenai yang ilahi. Kaum ini berpendapat bahwa tidak seorang manusia pun yang melihat Tuhan dan tetap hidup – Yang memahami kontradiksi ini mengenai sengsara: tidak menyatakan diri sendiri adalah kematian bagi kasih, menyatakan diri sendiri adalah kematian orang-orang yang dikasihi!” (Ibid., h. 23) Kekudusan Tuhan dinyatakan kepada manusia yang berdosa dan itu berarti kehancurannya. Oleh karena alasan inilah Tuhan itu tersembunyi.   

Pilihan yang ketiga yaitu membawa rekonsiliasi atau penyatuan antara Tuhan dengan manusia sama berlaku bagi sang raja. “Oleh karena kita telah mendapati bahwa penyatuan itu tidak dapat dimunculkan oleh peninggian, maka hal itu harus diupayakan melalui suatu penurunan...Agar penyatuan itu dapat terlaksana, maka Tuhan harus menjadi setara dengan seseorang sehingga ia dapat muncul dalam hidup orang-orang yang rendah tetapi orang-orang yang rendah itu harus saling melayani, dan Tuhan akan muncul dalam wujud sebagai seorang hamba.” (Ibid., h. 24)

Dalam diri Yesus kita memiliki Tuhan dan sekaligus manusia yang berjalan di tepi Danau Galilea, menyembuhkan orang-orang yang sakit, membangkitkan orang mati, memberitakan kabar baik Kerajaan Tuhan, dan pada puncaknya membangkitkan diri-Nya sendiri dari kematian. 

Baik Kierkegaard maupun Pascal mendukung gagasan bahwa hanya kekristenan yang memberikan seorang pengantara. Gautama, Konfucius, Muhammad, (“Doktrin Islam mengenai Tuhan sama sekali tidak mengenal seorang Pengantara, dan Kristologi Qur’an walaupun menghormati Yesus sebagai manusia dan utusan Tuhan dan sebagai Firman dan Roh Allah, menolak inkarnasi dan oleh karena itu tidak memberi tempat untuk tujuan penebusan Tuhan. Sesungguhnya, inilah jalan pisah antara Islam dan kekristenan.” (Jurji, op. cit., h. 247) Sementara yang lainnya tidak membuat klaim apapun yang mengatakan bahwa mereka lebih dari sekadar manusia yang memiliki pemahaman religius. 

Sebelum menyimpulkan bagian ini, suatu referensi harus dibuat terhadap Yudaisme, kekristenan, dan Islam. Yudaisme harus dipandang sebagai suatu “agama yang sejati” sejauh hal itu demikian, atau bila ia jujur terhadap dirinya sendiri. Nabi Perjanjian Lama yang terakhir muncul dalam diri Yohanes Pembaptis yang memanggil Israel untuk mengambil keputusan. Bersama Yohanes Pembaptis, Perjanjian Lama memandang dirinya sendiri masuk dalam penggenapan. Perjanjian Lama berbicara mengenai Mesias yang akan datang, dengan banyak referensi yang dimulai sejak Kejadian, Ulangan, dan banyak juga referensi dalam kitab-kitab para nabi. Yesaya memberikan gambaran grafis mengenai raja di masa depan. Seorang perawan akan melahirkan dan Anak itu akan disebut Immanuel (Yesaya 7:14). Yesaya 9:6-7 menggambarkan “Sebab, seorang Anak telah lahir bagi kita, seorang Putra telah diberikan kepada kita, dan pemerintahan ada di pundak-Nya, dan nama-Nya disebut Ajaib, Penasihat, Elohim Yang Maha Perkasa, Bapa Yang Maha kekal, Raja Damai. Dalam hal perluasan pemerintahan-Nya, dan dalam hal damai sejahtera, tidaklah berkesudahan, di atas takhta Daud, dan di atas kerajaan-Nya, untuk meneguhkan dan mendukungnya dengan keadilan dan kebenaran, dari sekarang sampai selamanya. Dengan kecemburuan, YAHWEH Tsebaot akan melakukannya.”

Yesaya 11 memberikan suatu masa depan yang menjanjikan kepada kerajaan Daud seperti sebuah tunas yang muncul keluar dari cabang. “Dan Roh YAHWEH akan tinggal pada-Nya; roh hikmat dan pengertian, roh nasihat dan kekuatan, roh pengenalan dan takut akan YAHWEH”. Mikha 5:2 memberikan tempat kelahiran penguasa Israel yang akan dilahirkan, yaitu Bethlehem. Yeremia memperbesar harapan akan hal itu teristimewa saat kerajaan sedang ambruk pada masanya. Ia menyampaikan janji Tuhan: “Aku akan membangkitkan suatu tunas yang benar bagi Daud, dan seorang raja akan memerintah dengan bertindak bijaksana, serta akan melakukan keadilan dan kebenaran di bumi” (23:5).  Kemudian Tuhan berkata “Aku akan mematahkan belenggu yang mengikatmu dalam perbudakan dan Aku akan membangkitkan seorang raja bagimu dari keluarga Daud” (30:9). 

Yehezkiel menjanjikan sebuah masa depan setelah penghakiman yang mereka alami sekarang, dimana Tuhan berkata, “Aku akan mengangkat satu orang gembala atas mereka, yang akan menggembalakannya, yaitu Daud, hamba-Ku; dia akan menggembalakan mereka, dan menjadi gembalanya” (34:23). Dalam motif yang berbeda ada sejumlah bagian Firman Tuhan dalam Yesaya yang terfokus pada hamba Yahweh. Yang paling terkenal adalah Yesaya 52:13-53:12 mengenai hamba yang menderita.  

Ada banyak tulisan lainnya dengan latar belakang Israel pada jaman Yesus dimana ada pengharapan yang sangat kuat akan seorang Mesias. Mesias tidak muncul begitu saja tanpa suatu dasar. Para murid Yesus yang pertama melihat dalam diri-Nya penggenapan akan janji-janji ini.   

Yohanes Pembaptis mengemukakan Yesus sebagai penggenapan nubuat kuno. Dapat dipertanyakan apakah Yudaisme dapat dipandang sebagai kelanjutan dari agama Perjanjian Lama, terutama oleh karena pengaruh otoritatif Talmud telah membentuk kehidupan religius post-biblikal. Talmud membentuk cara berpikir yang dikritik Yesus yaitu bahwa tradisi oral telah mengalahkan Taurat yang tertulis.

Islam mempunyai permasalahan sehubungan dengan kekristenan dan hal menjadi agama penutup terhadap Yudaisme dan kekristenan. Islam mengklaim bahwa ia berdiri di garis para nabi dan wahyu biblikal Yudaisme dan kekristenan. Namun apakah benar begitu? Dapatkah kita mensejajarkan Allah dengan Yahweh dalam Perjanjian Lama? Orang-orang Muslim membuat klaim ini. Namun pikirkanlah yang berikut ini. 

Pertama-tama, siapakah Allah? Ketika Muhammad berkhotbah kepada orang-orang Mekkah ia tidak memperkenalkan sesembahan yang baru, tetapi menyatakan bahwa salah satu dari dewa-dewa mereka, yaitu Allah, adalah yang terbesar dan adalah satu-satunya Tuhan. Orang-orang Mekkah tidak menuduh Muhammad mengajarkan sesembahan yang berbeda dari yang mereka kenal. Ia menuntut agar mereka percaya hanya kepada satu Tuhan, bukan kepada banyak sesembahan seperti yang selama ini mereka lakukan. Ini masih merupakan kontroversi yang belum selesai, dimana ada para pemikir yang berpendapat bahwa Allah adalah Dewa Bulan yang dilambangkan dengan bulan sabit, lambang dari Islam. Bulan sabit ada di puncak-puncak mesjid dan minaret-minaret (menara mesjid), terdapat di bendera-bendera negara-negara Islam dan bulan Ramadan dimulai dan diakhiri dengan puasa dengan kemunculan bulan sabit. Hanya waktu yang akan mengatakan bagaimana kontroversi ini akan diselesaikan.  

Kedua,  orang-orang Muslim mengklaim bahwa Perjanjian Lama dan Baru telah dipalsukan oleh orang-orang Yahudi dan Kristen untuk meniadakan klaim orang-orang Muslim bahwa ia (Muhammad) telah dinubuatkan dalam Alkitab. Ini sangat tidak masuk akal! Ada banyak manuskrip yang bertanggal sebelum jaman Muhammad. The Codex Vaticanus, Codex Sinaiticus,  dan banyak yang lainnya bertanggal sebelum kelahiran Muhammad. Ada banyak versi lain yang eksis sebelum kebangkitan Islam, yaitu: Syriac, Syriac Kuno, Armenian, Ethiopia, Peshitta, dan Vulgata dalam bahasa Latin. Adalah suatu kejahatan apabila orang Muslim berpendapat bahwa Alkitab telah dipalsukan oleh orang-orang Yahudi dan Kristen. (Bdk. Abdiyah Akbar Abdul-Haqq, Sharing your Faith with a Muslim, Minneapolis: Bethany Fellowship, 1980, h. 50-66)

Sangatlah menarik bila memperhatikan bahwa Muhammad memandang Alkitab dapat dipercayai, berlawanan dengan para penulis Muslim yang muncul kemudian. Muhammad meminta orang-orang Yahudi untuk memeriksa Perjanjian Lama untuk melihat apakah namanya tercantum disana. Qur’an berbicara mengenai Yesus, “Tuhan akan mengajari-Nya kitab suci, dan hikmat, dan Taurat dan Injil...” (Sura 3:4, bdk. Terjemahan Yusuf Ali)

Jika Qur’an dan Muhammad memandang bahwa Alkitab dapat dipercayai, maka orang-orang Muslim akan menghadapi masalah. Jika Qur’an benar mengenai hal ini, maka Alkitab juga benar. jika Alkitab benar, ideologi Muslim tidak dapat bersesuaian dengan Alkitab.   

Ketiga, karakter Muhammad tidak sama dengan nabi manapun di dalam Alkitab. Banyak klaimnya mengenai wahyu hanya melayani kepentingannya sendiri. Muhammad mengatakan bahwa orang Muslim hanya boleh mempunyai 4 istri sementara ia sendiri dapat memiliki wanita manapun yang ia inginkan. Ini adalah klaim yang melayani kepentingannya sendiri. Muhammad tidak dapat tahan terhadap olokan dan itulah sebabnya mengapa ia menghukum mati seorang wanita Mekkah yang menulis sebuah puisi satiris terhadapnya. Perintah untuk membunuh orang-orang kafir, orang-orang yang menolaknya, menjadikan Muhammad seorang tokoh perang, bukan orang yang cinta damai. Muhammad memimpin pasukannya berperang dalam 18 peperangan dan merencanakan sekitar 38 peperangan lainnya. Sejarah Islam yang dimulai oleh Muhammad adalah sejarah perang, penaklukkan, ketamakan, dan tirani. Islam tidak mengijinkan kebebasan ekspresi religius. Islam tidak memahami, atau mengakui bahwa ibadah yang dipaksakan bukanlah ibadah sama sekali. Ibadah yang dipaksakan hanya akan menyenangkan Iblis, bukan Yahweh. 

Kita tidak dapat menyimpulkan bahwa Tuhannya Islam sama dengan Yahweh dalam Perjanjian Lama yang berinkarnasi dalam diri Yesus dari Nazaret untuk menebus umat manusia. Finalitas dalam Kristus ini mengeliminasi nabi-nabi lain yang datang kemudian seperti Muhammad. Surat Ibrani membicarakan finalitas perkataan-perkataan yang terakhir dari Tuhan, Firman-Nya yang tertinggi, yang datang dalam diri Putra-Nya. Oleh karena itu Islam tidak dapat dipandang sebagai sebuah ekstensi, kulminasi, atau melengkapi tradisi Yudeo-Kristen. Memang ada nabi-nabi yang disebutkan dalam Perjanjian Baru dan mereka selaras dengan Injil Kristen dan tidak berupaya untuk menghilangkan wahyu Perjanjian Baru atau mengklaim wahyu yang berbeda (Matius 23:34; Kisah Para Rasul 11:27-29; 13:2-3; 15:32;21:9-11; 1 Korintus 12:28-29; Efesus 2:20; 3:5;4:11, sebagai contoh).

Keunikan Kristus 

Jika mengikuti argumen Pascal, kita dapat menyimpulkan bahwa hanya kekristenan yang memberikan jawaban terbaik terhadap 3 pertanyaan ini: Mengapa Tuhan tersembunyi? Mengapa manusia berada dalam kesengsaraan? Bagaimanakah manusia dapat mengenal Tuhan? Jika kita dapat mengatakan bahwa Kristus adalah sang Pengantara, maka ada beberapa hal yang penting mengenai pribadi-Nya. Dalam hal ini, Ia unik sebagai seorang pendiri, dibandingkan dengan pendiri-pendiri lainnya. (Keunikan pada dasarnya bukanlah suatu argumen untuk kebenaran. Semua agama unik. Namun demikian, para pendiri agama-agama lain mempunyai banyak kesamaan satu sama lain daripada dengan Yesus)   

Inkarnasi dibutuhkan bagi penebusan. Pengalaman manusia telah menunjukkan, jika dicermati secara jujur, bahwa manusia itu tidak mampu menebus dirinya sendiri. Segala sesuatu yang tidak lebih daripada Tuhan sebagai Sang Penebus berarti ejekan terhadap gagasan yang pernah dikatakan oleh P. T. Forsyth dalam menekankan tempat bagi inkarnasi, “Tuhan yang hanya separoh tidak dapat menebus apa yang diciptakan oleh Tuhan yang seutuhnya”. Tidak satupun agama dunia yang memiliki klaim pendirinya bahwa ia adalah Putra Tuhan dalam keunikan istilah tersebut. Klaim ini hanyalah milik Yesus Kristus. 

Kadangkala dikatakan bahwa iman Kristen itu unik dalam hubungan dengan perkatan-perkataan Yesus. Ini tidak membuktikan apa-apa. Hal ini telah ditunjukkan oleh Claude Montefiore, yaitu bahwa Yesus hanya sedikit mengatakan hal yang baru dan berbeda dari pemikiran Yudaisme namun Ia berbicara dengan otoritas yang tidak sama dengan para rabi yang mengutip tradisi. Satu-satunya hal yang Ia temukan, yang sangat berbeda adalah gambaran mengenai Gembala Ilahi yang pergi ke padang belantara  untuk mencari seekor domba yang tersesat. Ini hanyalah satu bagian kecil dari kebenaran mengenai keunikan iman Kristen. Keunikan Yesus tidak terletak pada apa yang Ia katakan tetapi dalam siapa diri-Nya, apa yang dilakukan-Nya, dan kemana Ia pergi. Para pendiri agama-agama dunia mengusulkan cara-cara pelepasan diri sendiri, bagaimana menguduskan diri sendiri, dan realisasi diri. Di sisi yang lain, Yesus Kristus melakukan bagi manusia apa yang manusia tidak dapat lakukan untuk dirinya sendiri. Untuk alasan inilah maka Injil itu ada, suatu kabar baik, dan ini adalah berita mengenai sesuatu yang terjadi di Yerusalem pada satu titik dalam sejarah. Apa yang terjadi adalah penebusan manusia dalam diri Yesus Kristus. Hidup-Nya, kematian-Nya dan kebangkitan-Nya adalah peristiwa-peristiwa penebusan. Ia sendiri telah memberikan hidup-Nya sebagai penebusan bagi umat manusia yang terasing. Tidak satupun pendiri agama yang memberikan hidupnya untuk umat manusia, untuk anda dan saya. 

Hanya ada satu pernyataan yang harus dibuat berkenaan dengan semua pendiri agama yang lain: mereka mati dan dikubur! Kisah-kisah mengenai hidup mereka berakhir disana. Berbeda dengan Kristus. Ia keluar dari kubur, dibangkitkan, dan naik kepada Bapa. Tanpa kebangkitan, kita hanya dapat menyimpulkan bahwa Yesus adalah guru yang agung, boleh jadi Musa yang kedua, namun dengan kebangkitan ia dideklarasikan sebagai Putra Tuhan. Mengenai hal ini Barth mengatakan: 

Pengetahuan yang dimiliki para Rasul berdasarkan kebangkitan Kristus, konklusi kenaikan Kristus, pada esensinya adalah pengetahuan dasar mengenai rekonsiliasi yang terjadi dalam Yesus Kristus bukanlah sebuah kisah yang biasa, namun merupakan karya anugerah Tuhan yang berkaitan dengan kemahakuasaan Tuhan, dimana hal yang tertinggi dan terhebat menjadi tindakan, dan selain itu tidak ada realita lain. (Op. cit., h. 126)

Sementara jelas bahwa orang tidak dapat menjadi Kristen hanya berdasar pada akal, iman Kristen sendiri tidak memberikan jawaban yang memadai terhadap pertanyaan-pertanyaan berkenaan dengan fakta-fakta observasi dan eksistensi. Pendiri iman Kristen memiliki sebuah keunikan yang tidak dapat diduplikasi atau ditandingi oleh para pendiri agama lainnya. Kita menyimpulkan bersama Pascal bahwa “Pengenalan akan Tuhan tanpa kesengsaraan manusia mendatangkan kesombongan. Pengenalan akan kesengsaraan manusia tanpa Tuhan mengakibatkan keputus-asaan. Pengenalan akan Yesus Kristus menjembatani keduanya, karena dalam Dia kita menemukan baik Tuhan dan (jawaban-jawaban untuk) kesengsaraan kita” (Pensées 526). 

Pemikiran Pascal menunjukkan pentingnya pemahaman orisinil pendiri suatu agama. Talmud Yudaisme sangat legalistik sehingga orang hampir-hampir tidak dapat mengenali hubungannya dengan Taurat. Budhisme dibagi menjadi 2 bagian besar dengan banyak sub divisi dan Budha Mahayana hanya mempunyai relasi dengan kesederhanaan pengajaran Gautama. Dalam tradisi Kristen, konsep pengembangan tradisi Katolik nampaknya jauh terpisah dari gereja mula-mula seperti yang digambarkan dalam Perjanjian Baru. Jika individu-individu dan pergerakan-pergerakan telah menyimpang dari pola yang telah ditetapkan dalam Alkitab, maka mereka berada dibawah kritik Sang Pendiri, yaitu Yesus Kristus. Tidak ada pembenaran bagi pengembangan yang beranjak menjauhi pribadi Yesus Kristus.

Keeksklusifan Injil      

Prosisi-prosisi Pascal dapat membawa pada konklusi bahwa hanya iman Kristen yang memberikan jawaban-jawaban yang terbaik terhadap pengalaman manusia. Pada saat yang sama, Perjanjian Baru ditulis atas asumsi bahwa wahyu final Tuhan telah terjadi. Sebagai kontras dengan Yudaisme dan Perjanjian Lama, wahyu Tuhan dalam diri Putra-Nya dideklarasikan sebagai ekspresi diri-Nya sendiri yang terbesar terhadap manusia (Ibrani 1:1-3). Dikatakan bahwa Yesus Kristus adalah pengantara perjanjian yang lebih baik daripada Musa (Ibrani 9:15), Imam Besar yang lebih baik daripada Melkisedek (Ibrani 7:1-28), dan kurban yang lebih baik daripada yang dipersembahkan oleh imam-imam kaum Lewi (Ibrani 8-9). Referensi-referensi ini berimplikasi bahwa Kekrstenan adalah penutup atau penggenapan Yudaisme. 

Dalam khotbah Paulus kepada warga kota Athena, ia mendeklarasikan Sang Pencipta yang adalah Tuhan yang tidak dikenal di kalangan orang-orang tidak percaya. Semua representasi lainnya dalam bentuk emas, perak, dan batu berkaitan dengan cara berpikir manusia yang jahat (Kisah Para Rasul 17:29). Khotbah Petrus di Yerusalem menekankan “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kisah Para Rasul 4:12). Sudut pandang Perjanjian baru identik dengan keeksklusifan yang ada dalam kitab Yesaya (45:21-22): “...Tidak ada Elohim yang lain selain Aku, Elohim yang adil dan Juruselamat, tidak ada yang lain selain Aku. Berpalinglah kepada-Ku dan kamu akan diselamatkan, hai seluruh ujung bumi, karena Aku-lah Elohim dan tidak ada yang lain.”

Tidak hanya ada sudut pandang eksklusif yang diekspresikan dalam Perjanjian Baru, namun agama-agama lain adalah “suatu bentuk” penyangkalan akan kuasa kesalehan (2 Timotius 3:5). Para pendiri agama-agama baru atau konsep-konsep religius yang terpisah dari Injil apostolik diumpamakan sebagai kanker yang menggerogoti daging (2 Timotius 2:17). Para pengikut “agama baru yang aneh” seperti itu telah dinubuatkan dalam 1 Timotius 4:1-2. Apapun yang bertentangan dengan Kristus adalah anathema (Kolose 2:8; Galatia 1:8). 

Sangatlah jelas bahwa kekristenan memang membuat klaim-klaim eksklusif bahwa kekristenanlah satu-satunya jalan yang benar untuk mengenal Tuhan. Orang boleh setuju atau tidak dengan hal itu, namun klaim itu tetap ada. Seorang Kristen bisa jadi tidak menyukainya, namun ia tidak mempunyai kebebasan untuk mengubahnya oleh demi alasan sentimentil. Kita boleh saja tidak menyukai hukum gravitasi pada beberapa kesempatan, namun ada fakta-fakta tertentu yang tidak dapat kita ubah oleh karena hukum alam. 

Dengan suatu sikap eksklusif di satu sisi, dan sudut pandang religius yang berbeda di sisi yang lain, apa yang dapat kita katakan mengenai semua hal itu? Dapatkah kita menyimpulkan bersama Schleiermacher bahwa ada suatu “esensi agama” yang sama pada semua agama dan yang memanifestasikan dirinya dalam berbagai bentuk? Ataukah Brunner benar ketika ia berkata, “Adalah mustahil menjadi seorang Kristen – dalam pemikiran Perjanjian baru – dan pada saat yang sama menerima pandangan bahwa ada ‘esensi agama’ yang universal dalam mana kekristenan mempunyai bagian terbanyak. Wahyu Kristen dan teori-teori agama yang ‘relatif’ ini sama-sama eksklusif”. (Revelation and Reason, h. 220)

Judul Dalam Bahasa Inggris: Is There A True Religion?