Menggugat Kalimat Syahadat: Siapa Itu Allah Yang Meniadakan Tuhan Selainnya? (BAGIAN PERTAMA)

Oleh: RAM KAMPAS

 

Setiap non-Muslim yang simpati kepada Islam dan siap-siap menjadi Mualaf akan mendapatkan sambutan yang luar biasa hangat dari Muslim, khususnya dari Imam atau Ustad dan kalangannya yang dipercayakan untuk membina calon mualaf tersebut. Entah kenapa, sambutan biasanya akan tambah meriah bilamana si calon adalah orang Kristen, tidak perduli bahwa si calon itu belum mencapai umur dewasa untuk memutuskan pemilihan agama bagi dirinya. Yang penting, kepadanya telah ditanyakan apakah ada pihak yang memaksa dirinya untuk masuk Islam. Untuk kedengaran lebih manis maka sang Imam atau Ustad akan mendahului pertanyaan tadi dengan berkata: "Saya tidak ingin kamu menjadi Muslim kecuali kamu benar-benar yakin dengan agama Islam. Jadi, jawablah dihadapan saksi, adakah pihak-pihak tertentu yang memaksa engkau untuk memeluk Islam?" Dan bilamana jawabnya “Tidak ada”, maka itu sudah memenuhi syarat dasar Quran 2:256, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama”, untuk meneruskan ritual pentahbisan si calon menjadi Muslim.

Peralihan kepada iman Islam sangatlah mudah, cukup ditandai dengan mengucapkan dua Kalimat Syahadat: Laa Ilaaha illallah, Muhammad Rasulullah! Dan jadilah dia seorang Muslim absah, pengikut Nabi Muhammad seumur hidupnya! Semudah itulah Anda menjadi Muslim. Lihat VIDEO berikut, pertobatan seorang anak kecil dibawah umur:

Seorang remaja Inggris usia 13 tahun - saat akan menjadi mualaf dengan mengucapkan kalimat Syahadat

 

KEMUDAHAN YANG BISA MENJEBAK

Semudah itukah? Ya, bahkan bisa lebih mudah lagi dari itu seperti yang kita sering saksikan di mass media. Dalam keadaan tertekan diantara para jihadis, si kafir langsung dimualafkan tanpa usah mempedulikan pesan Quran: “Tidak ada paksaan untuk agama”! Betapa sering kita mendengar orang kafir dipaksa untuk memilih masuk Islam atau kehilangan nyawa! Dan ini sudah membantah ucapan retorik Ustad diatas bahwa menjadi Muslim harus didahului dengan benar-benar yakin akan agama Islam yang dipeluknya. Tetapi petobat manakah yang sudah memahami Hakekat Islam menjelang ia mengucapkan Kalimat Syahadat sehingga tidak kaget atas banyak syariat aneh-aneh yang baru diketahuinya setelah terlanjur menjadi Muslim? Mari kita melihat beberapa aspek yang sering mengagetkan seorang mualaf dibelakangan hari.

Pertama-tama, banyak mualaf bahkan tidak menyadari apa itu makna ISLAM. Kepada mereka biasanya dikatakan bahwa itu artinya DAMAI. Padahal arti sebenarnya adalah ‘tunduk’ (submission), menyerah (surrender), takluk (subjugation), menyerah dan takluk dalam makna menyerahkan segala kebebasan kita dibawah perintah Allah. Arti eksplisitnya, Anda kini menjadi hamba (budak) Allah. Tidak ada kehidupan untuk dirinya sendiri kecuali Allah. Arti implisit-nya, Anda sekarang Muslim telah kehilangan semua hak-hak pribadimu – tanpa syarat – selain Hak-Hak Allah dalam keseluruhan syariah-Nya! Dan Anda serentak harus melakukan “kerja-wajib” dalam segudang pernik-pernik dan lautan aturan Syariah yang belum Anda ketahui samasekali tatkala menjadi mualf pada hari pertama!

Kedua, banyak mualaf juga tidak menyadari bahwa Islam itu ibarat BUBU (penangkap ikan tradisionil dari bambu), bisa masuk tidak bisa keluar! Maka sudahkah mualaf kecil ini memahami Islam dan hakekatnya, dalam akidah-akidah prinsip dan syariat yang berdampak bagi seluruh kehidupan masa depannya?

Diatas telah disinggung sedikit, bahwa seterusnya mualaf ini akan menjadi pengikut Muhammad seumur hidupnya. Artinya, sekali ia masuk Islam, dia tidak diperkenankan keluar dari Islam hidup-hidup, dengan alasan apapun! Ayat manis Quran 2:256 dipublikasikan luas seolah-olah berarti bahwa orang bisa bebas pindah agama kapan saja dalam Islam. MENYESATKAN! Islam itu bubu, one way traffic. Sekali masuk Islam, ia dipaksa harus tetap Muslim seumur hidupnya! Ancaman hukuman mati dari Muhammad justru digelapkan, atau sering tidak cukup dijelaskan. Sabda Nabi tidak diteruskan bersamaan dengan ayat manis diatas, “Bila seorang Muslim murtad dari agamanya, bunuhlah dia” (Shahih Bukhari 4:260). Padahal syariah-baku yang satu ini berlaku shahih untuk semua Islam, apapun mazhabnya.

Jadi apakah hal “bubu” itu sudah diterangkan dengan sejelas-jelasnya kepada CALON mualaf, berikut segala konsekuensinya? Ustad yang membinanya seharusnya bertanggung jawab lahir batin dunia akhirat, bahwa pilihan masuk Islam bagi seseorang tidak berunsurkan “memilih kucing dalam karung”. Tetapi apakah itu dijelaskan disaat awal dengan memberi waktu dan suasana santai dan netral beberapa hari kepadanya untuk berpikir, ataukah hanya ditanyakan disaat akhir untuk dijawab secara instan tatkala tekanan waktu dan keadaan yang hiruk-pikuk tidak mungkin netral lagi bagi calon mualaf untuk menunda “pentahbisan mualaf”? Bagaimana kalau si calon mualaf itu adalah “tawanan” dibawah ancaman kelompok jihadis? Bukankah kita banyak menyaksikan kasus-kasus menjijikan seperti itu dewasa ini?

 

MENGGUGAT SYAHADAT: SIAPA ITU ALLAH? YANG MENIADAKAN TUHAN SELAINNYA?
Calon Mualaf diminta untuk mengucapkan syahadat: Laa Ilaaha illallah, “Tiada Tuhan selain Allah”.

Akan tetapi sudahkah kepadanya diterangkan sebenar-benarnya siapa itu ALLAH? Ustad tentu menjawab: Apa engkau waras? Yang paling pertama, tentu saja sudah diterangkan siapa yang menjadi Sesembahan Muslim”.

Nanti dulu, pak Ustad. Kami dulu sempat Muslim. Kami sudah menanyakan kepada diri sendiri dan juga kepada teman-teman Muslim lainnya pertanyaan sederhana yang dianggap tidak waras itu. Tapi nyatanya tak ada Muslim yang kenal – apalagi yakin – siapa itu Allahnya, sekalipun setiap hari mereka menyerukannya berulang kali. Sebab pada-Nya, tidak ada yang bisa ditamsilkan, dan keberadaan-Nya tidak bisa dirasakan secara personal, sekalipun Allah berkata bahwa Ia lebih dekat daripada urat leher manusia (50:16). [Ini berlainan dengan figure “BAPA” orang Kristiani yang bisa dirasakan secara personal, yang diserukan oleh Yesus dan para pengikutnya lebih dari 164 kali dalam Injil].

Sebagian Muslim menggoblok-goblokkan orang yang bertanya tentang Allah, dan berkata bahwa Allah itu adalah “Allahu Akbar”! Sebagian yang lain merasa cukup menerangkan dengan berkata, “Tiada Tuhan selain Allah, padanya ada 99 nama-nama terbaik yang melekat pada sifat-sifat diri-Nya. Itulah Allah”.

Tetapi, gugatan dibawah ini memperlihatkan bahwa tidak senaif begitu Anda Muslim menggoblokkan seseorang. Para ex-mualaf sungguh mau bertanya yang paling mendasar dari Syahadat, baik soal Sosok Allah maupun Nama Allah sendiri yang di “Laa Ilaaha illallah” kan.


Siapa yang memperkenalkan nama pribadi ALLAH kepada umat Arab?
Tentu tak ada manusia yang tahu nama pribadi Allah bilamana Allah sendiri tidak memperkenalkannya, bukan? Tetapi sepanjang Kitab-kitab Suci yang ada, hanya nama YAHWEH sajalah yang diperkenalkan Tuhan sendiri bagi umat-Nya, khususnya dikonfirmasikan kepada Musa (Kel.3: 14 ff).  

“Akulah YAHWEH… (Keluaran 6:6, 31:13 dst).

“Akulah YAHWEH, Allahmu…” (Keluaran 20:2, Ulangan 5:6, Allah hanya nama sebutan God).


YAHWEH telah disebut hampir 4000 kali di Kitab Taurat/Perjanjian Lama, tetapi amat aneh bahwa tidak sekalipun Ia disebutkan oleh Muhammad dalam Quran. Tidakkah perkara sepenting itu terkorup?

 

Quran tidak memperkenalkan nama Allah-Nya kepada Muhammad dan umat Islam!

Banyak Muslim tidak sadar bahwa Muhammad melakukan dua hal secara diam-diam:
(1). Menghilangkan nama YAHWEH dan diubah menjadi ALLAH bagi umat Arab. Ini dilakukan dengan memanfaatkan/memlintiran kisah Taurat Musa bagi bani Israel secara licin, sebagai berikut.

Taurat: “Akulah YAHWEH, Allahmu…” (Keluaran 20:2)

Quran: “Sesungguhnya Aku ini adalah ALLAH” (20:14).


(2). Seterusnya, Muhammad menggulirkan nama Allah ini secara diam-diam kedalam seluruh Quran tanpa berani diperkenalkan secara formal dan terbuka! Akibatnya -- dan buktinya sekaligus -- tidak ada seorang Muslim pun yang tahu mana ayat yang pertama-tama dari Quran yang menyebutkan nama pribadi Allah. Ayat penting itu tidak terlacak! Jadi siapakah ALLAH itu? Dari mana datangnya nama tersebut? Dari bumi atau Surga? Dapatkah nama ALLAH diketahui manusia tanpa diperkenalkan oleh Dia sendiri secara langsung?

 

Asal kata Allah, kristalisasi dari pelbagai konsep ilah-ilah Arab
Kata “Allah” sesungguhnya hadir sebelum Islam. Nama ayah Muhammad yang pagan, Abdullah - Abdi Allah, turut merujukkan hal tersebut! Setiap suku Arab mempunyai ilah-ilahnya sendiri, yang laki dan perempuan. Tetapi suku-suku tertentu  juga memproklamirkan keberadaan sosok “ilah/allah-yang tidak dikenal” yang mereka sebutkan sebagai al-ilah, yang secara literal berarti “ilah itu” (the god). Ia dianggap sebagai tuhan yang tidak tampak, tuhan tertinggi, sekalipun mereka masing-masing tidak mempunyai konsep yang seragam tentang siapa dia “ilah-itu” (Georges Houssney, Allah: The god of Islam). Dan Allah menjadi “sebuah universalitas dari ilahnya suku-suku yang sering dirujukkan sebagai al-ilah. Ketika suku yang satu berhubungan dengan suku lainnya yang sama-sama mempunyai al-ilah, mereka merasa bahwa mereka merujuk kepada sosok ilah yang sama. Dan dengan demikian gagasan universal tentang Allah tumbuh diantara orang-orang Arab” (Nazir Ali, p. 26).  Oleh karena itu kita mengenal bahwa suku Quraisy maupun suku-suku lain percaya kepada ALLAH, sebuah kristalisasi dari universalitas ilah-ilah yang dirujukkan sebagai Tuhan atas Ka’bah...

 

Nama pribadi Tuhan selalu YAHWEH, tidak pernah diganti jadi ALLAH
Tetapi nabi-nabi terdahulu, termasuk Abraham dan Musa hanya mengenal nama pribadi Elohim (God) sebagai YAHWEH. Maka ketika Muhammad dalam Quran-nya mengisahkan perjumpaan nabi-nabi ini dengan ALLAH dan bukan YAHWEH, maka jelaslah Muhammad telah mengkorupkan “Nama Diatas Segala Nama” tersebut. Karena penukaran nama itu mustahil diwahyukan oleh YAHWEH, “Elohim Abrahim, Ishak dan Yakub” kepada Muhammad! Klaim Muhammad sebagai pengikut agama Ibrahim yang lurus (2:135, 3:95, 61:6) sungguh kehilangan otentisitasnya. Adakah Allah pernah memperkenalkan dan mengkoreksi nama baru-Nya kepada Muhammad (dan orang-orang Arab): “Akulah ALLAH, Tuhan semesta, bukan lagi YAHWEH”? Inilah kesembarangan yang luar biasa dari Muhammad yang terang-terangan memperkosa “10-Perintah Tuhan” dalam Taurat, padahal beliau pula orangnya yang selalu membenarkannya! Ternyata Taurat hanya ditegakkan Muhammad berkenaan dengan butir favoritnya, yaitu ke-Esaan Tuhan, tetapi pada waktu yang sama ia dengan berani melenyapkan butir yang berkenaan dengan nama-Nya:

“Jangan menyebut nama YAHWEH, Allahmu, dengan sembarangan, sebab YAHWEH akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan” (Keluaran 20:7).  

Padahal tidak ada alasan bagi Muhammad untuk mengubahnya, karena ia sendiri sedang kesulitan besar mencari-cari apa nama Tuhannya yang persis pada awal-awal pewahyuan yang terputus-putus. Itu sebabnya Muhammad awalnya hanya berani menyebutnya dengan RABB, dan sesekali Ar-Rahman (Allah orang Yaman) dan bukan Allah, dalam hampir 30 unit wahyu awal (!) a.l. 5 ayat awal Surat Al-Alaq dan Al-Muddatstsir, Surat 54, 55, 56, 68, 75, 78, 83, 89, 92, 93, 94, 99, 100, 105, 106, 108, 113, 114 dst., semuanya kosong dari nama Allah!

 

Siapa the Lord of Ka’bah, Allah atau Hubal?

Dilain pihak, Ka’bah selalu dianggap sebagai Rumah Allah yang suci yang didirikan Ibrahim di Mekah. Tetapi Ka’bah juga Rumahnya 360 ilah-ilah yang disembah oleh para pagan (Shahih Bukhari 5:583), termasuk Istri dan Puteri Allah (al-Alat, al-Uzza, dan Manat) yang dipercaya sebagai dewi-dewi Perantara Allah yang responsif. ALLAH yang Mahatinggi ini dikenal sebagai Tuhan atas Ka’bah yang didirikan oleh Ibrahim (sebuah dongeng/klaim yang berlawanan dengan Alkitab, fiktif tidak terbuktikan) dan tidak direpresentasikan oleh patung. Tetapi Hubal, justru tercatat dalam sejarah pra-Islam sebagai dewa sesembahan orang Arab yang paling besar dalam Ka’bah, dan patungnya ada disana yang merepresentasikan Dewa Bulan. Tidak mungkin ada dua sosok yang sama-sama The Lord of Ka’bah kecuali “Allah” yang transendental itu telah direpresentasikan oleh patung Hubal dalam penyembahan pra-Islam. Haekal berkata: “Semua patung itu, baik yang ada didalam Ka’bah atau yang ada disekelilingnya… dianggap sebagai Perantara antara penganutnya dengan Dewa Besar” (Sejarah Hidup Muhammad p.20). Asumsi ini didukung lebih jauh oleh kisah penebusan dari Abdul Muttalib (kakek Muhammad) yang bersumpah kepada Allah untuk mengurbankan salah satu anaknya sembari berdiri disisi patung Hubal (Sirat Rasul Allah, terjm. Guillame, pp.66-68. Juga ulasan Timothy Dunkin, dalam: Ba’al, Hubal, and Allah, dll). Tetapi tentu saja Muslim mencoba membedakan kedua sosok tersebut, walau tak berdaya menjawab kenapa ada dua sosok tinggal rukun sebagai The Lord of the Ka’bah pada waktu yang begitu panjang, serta banyak isyu-isyu lain yang muncul akibat dari pembedaan tersebut.

 

Muhammad tidak berani membersihkan Batu-Hitam yang disembah pagan

Kelak ketika Muhammad memasuki Mekah tahun 630 M beliau membersihkan semua patung-penyembahan berhala, termasuk Hubal dan Putri-putri Allah. Namun sungguh aneh bahwa ia tidak berani membersihkan satu batu hitam yang dia tahu persis selalu disembah oleh pagan Arab. Sebaliknya dia malah memujanya dengan cara menciumnya! Sebagian komentator berpendapat bahwa hal itu disebabkan oleh nostalgia Muhammad yang terlanjur begitu dalam terhadap batu yang telah berjasa “mengangkat derajatnya” menjadi Al-Amin ketika ia berhasil mendamaikan pihak-pihak kabilah yang siap berperang sesamanya karena berselisih cara untuk perpindahan batu tersebut. Tetapi tampaknya yang lebih mungkin adalah bahwa Muhammad memang merasa perlu untuk mengadopsikan batu Hajar Aswad sebagai simbol baru bagi keberadaan Allah (yang dirasakan lebih “kontekstual”) dengan tradisi Arab pagan yang bagaimanapun tetap butuh simbolisasi bagi Allah yang sekarang kehilangan Hubal dan putri-putriNya! Untuk itu beliau cukup mendemonstrasikan penciuman batu tersebut dan ber-talbiyah dihadapan para Sahabatnya tanpa usah menjelaskan kenapa batu itu harus dipanggil “Allah” dan sekalian dicium! Hadis Sahih Muslim 1150, “Sebelum mencium Hajar Aswad itu, Muhammad mengucapkan: "Labbaik allahuma labbaik" yang berarti: "Ya Allah atas panggilanMu aku datang kepadaMu."

 

Tangisan dan protes Umar atas kehadiran Batu berhala itu

Kerancuan posisi dan hubungan antara Allah dan Batu yang berbau syirik ini sungguh tidak bisa dimengerti Muslim, karena tidak dijelaskan oleh Muhammad. Kegalauan hati mereka bahkan sudah timbul sejak Umar ibn Khattab, seperti yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari 26/ 667:

“Umar mendekati batu hitam itu dan menciuminya dan berkata, ’Saya tahu pasti bahwa engkau hanyalah sebuah batu, dan tidak memberi manfaat maupun mudharat bagi siapapun. Andaikata saya tidak melihat Rasul Allah mencium-mu, saya pasti tidak akan mencium engkau pula.”

Ini adalah sebentuk tangisan Muslim awal yang tidak terucapkan dari kalbunya yang terdalam.

Sungguh tak bisa dimengerti kenapa semua Sahabat Nabi hanya bungkam dan tidak berani bertanya kepada Nabinya kenapa beliau tidak membersihkan batu yang tak bermanfaat itu, malahan menciumnya? Mereka tahu pasti bahwa itu hanya sebuah batu-mati, melainkan juga sebuah sesembahan. Sayangnya mereka tidak berani memprotes kehadapan nabinya, yang belakangan malah lebih jauh lagi berani menegaskan kesyirikannya dengan bersabda: إِنَّ مَسْحَهُمَا يَحُطَّانِ الْخَطِيئَةَ
"Sesungguhnya mengusap keduanya (Hajar Aswad dan Rukun Yamani) akan menghapus dosa".

(Hadits shahih riwayat an Nasaa-i. Dishahihkan oleh al Albani. Lihat Shahih Sunan an Nasaa-i, no. 2919).

Muhammad meninggalkan sebuah Islamic legacy yang fanatik tentang tauhid, namun melekatkan cacat-shirik yang tak terjelaskan bagi pengikutnya. Sebuah mix-emosi antara “jijik dan harus” turut muncul dihati Muslim yang terpaksa “mengilahkan” ex-batu berhala para pagan itu dengan cara memanggilnya dan menciuminya!

 

Allah mati suri dalam Rumah-Nya sebelum dibangunkan Muhammad
Jurus akal-akalan apapun yang Muhammad lakukan, namun memang ia tidak bisa memecahkan isu peka bagaimana Allah Yang MahaKudus ini bisa hadir bersama ilah-ilah najis di dalam Ka’bah untuk sekian ribu tahun sejak didirikan oleh Ibrahim! Dan jikalau sedemikian lama Allah sendiri nyaman dan mati-suri dalam kedamaian “Kabah Rumah-Nya”, kenapa dalam penaklukan Mekah itu Muhammad perlu-perlu-nya mengobrak-abrik Rumah-Nya? Dan setelah dibersihkan, kenapa satu ilah-batu masih ditinggalkannya? Dan jikalau memang Ka’bah harus bersih dari kenajisan ilah-ilah, maka kenapakah Muhammad sudah keburu memerintahkan orang-orang bershalat untuk pindah arah kiblatnya ke Ka’bah SEBELUM Ka’bah itu dibersihkan? Yaitu ditahun 624 M atau enam tahun (!) sebelum Ka’bah disucikan?! Tidakkah perintah shalat dengan mengubah kiblat kepada Ka’bah yang masih berhala itu adalah suatu “kekeliruan timing” dari Allah, atau ketidak-sabaran Muhammad (?), ketimbang tetap berkiblat ke Baitul Magdis yang suci di Yerusalem?

 

Muhammad membuktikan sendiri bahwa kisah Baitullah yang Ibrahim dirikan di Mekah itu, adalah kisah dusta belaka

Muhammad mendapat visi palsu ketika berkata: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia” (3:96). Orang segera dapat memergoki palsunya ayat Muhammad tentang “Bait Allah” ini ketika mengkontraskannya dengan kelanjutan bualan Muhammad sebagai berikut: “Diriwayatkan Abu Dhar: “Aku berkata, “O Rasulullah, masjid mana yang pertama dibuat di dunia ini?. Dia berkata, “Al-Masjid Al Haram (di Mekah)”. Aku berkata, “Mana yang dibangun setelah itu?”. Dia menjawab, “Al-Masjidil Al-Aqsa (di Yerusalem)”. Aku berkata, “Berapa jangka waktu antara pembangunan kedua bangunan itu?” Dia berkata, “Empat puluh tahun” (Shahih Bukhari 5/585). Wah, Muslim manakah yang belum tahu bahwa rentang waktu antara kedua “masjid” itu (yang satu dimasa Ibrahim dan lainnya dimasa Sulaiman (yang membangun Bait Tuhan Yerusalem) adalah seribu tahunan, dan bukan 40 tahun versi Muhammad? Ibrahim hidup di era 2000 tahun SM, dan Nabi Sulaiman yang membangun Bait Tuhan Yerusalem adalah disekitar 958-951 SM. Alangkah kacaunya wahyu Allah yang terproses lebih kacau lagi diotak Nabi-Nya!

 

Terlepas dari teori Tauhid, konsep keilahian Allah tetap berunsur pagan
Alhasil, hanya ada satu penjelasan yang masuk akal, yaitu bahwa ALLAH itu bukanlah YAHWEH Abraham, Ishak dan Yakub, Yang Hidup, melainkan berhala Arab tertinggi yang masih tetap dipertahankan Muhammad dalam posisi baru TWO IN ONE. Yang satu disiasati sebagai RUH “Tauhid” (Allah harus satu karena Terakbar) dan lainnya adalah BATU “Hajar Aswad” (yang harus ditampilkan agar terasa hadir, tidak kosong). Itu sebabnya Islam tidak berdaya menjelaskan kenapa ritual Haji dan simbol-simbol Islamik harus meniru ritual pagan Arab yang sungguh dinajiskan oleh nabi-nabi Taurat dan Injil: Bait Allah yang dipakai sama. Nama Ilah sama, Batu pujaan yang sama, tanda bulan-bintang, dan sederetan ritual yang sama, Thawaf, Sa’I, lempar jumrah dll!  Singkatnya, sumpah dan dekrit Islamik boleh Tauhid, tetapi konsep keilahian Allah tetaplah pagan! Awas, istilah Tauhid bukan dari mulut Allah di Quran. (BERSAMBUNG)

 

Artikel Dipetik dari: buktidansaksi.com