Kekristenan, Islam, dan Ilmu Pengetahuan

Oleh Trevor Major, M.Sc., M.A.

Kekaisaran Roma akhirnya benar-benar “sakit” pada akhir abad ke-2 Masehi. Ia sebelumnya telah menggunakan kemampuannya dalam administrasi, keahlian-keahlian tehnis, dan strategi militer untuk mendominasi sebuah wilayah yang terbentang di tiga benua. Tapi hatinya menjadi lemah karena bangkitnya kepemimpinan kerajaan yang berkuasa mutlak, dan terlalu sering, oleh para kaisar yang tidak cakap. Perlahan-lahan para prajurit Roma meninggalkan pos-pos pengawal yang terdepan dan tidak bisa mencegah bangsa-bangsa Vandal, Goth, dan Hun untuk memasuki bagian yang paling sentral dalam kekaisaran Roma. Bangsa Goth menguras kekayaan kota-kota besar di Yunani pada tahun 268, dan memperlakukan dengan cara sama terhadap Roma pada tahun 410, dan pada tahun 476 memperhentikan Kekaisaran Roma Barat yang terkahir. Karena merosotnya hukum dan ekonomi Roma, banyak bagian wilayah itu yang terperosok dalam kekacauan dan kemiskinan.

Yang juga lenyap dari pandangan adalah bagian penting karya ilmu pengetahuan klasik Yunani, termasuk astronomi Ptolomeus, matematika Euclid, anatomi Galen, dan tulisan-tulisan ilmu pengetahuan alam Aristoteles. Tapi sulit untuk mengatakan bahwa sama sekali tidak terjadi hal penting dalam “Jaman Gelap” ini, karena sebagian memberikan pengaruhnya yang kuat selama beberapa abad ke depan. Secara khusus, berdirinya biara-biara pada abad keenam menyediakan kesempatan untuk pelatihan-pelatihan keagamaan. Kemampuan membaca meningkat karena instruksi diambil dari bacaan-bacaan dalam AlKitab, berbagai tulisan komentar, dan karya-karya Bapa Gereja.

Biara-biara juga memberikan akses pada karya-karya klasik dalam bahasa Latin yang jumlahnya relatif sedikit. Melalui tulisan-tulisan Agustinus (354-430), kaum terpelajar mengenal, terutama, karya Plato, Timaeus. Karya ini meminjamkan pemikirannya kepada interpretasi Kristen karena argumennya bahwa alam semesta memiliki sebuah Penyebab Pertama—sebuah penggerak utama yang abadi—yang menciptakan gerakan dan keteraturan. Lebih jauh lagi, karena “Tuhan” dalam konsep Plato adalah baik, “Tuhan” menciptakan dunia yang baik bagi kita, ciptaan-“Nya”. Tidak seperti Tuhan bagi keyakinan Kristen, penggerak utama ini bukan “Tuhan” yang berpribadi; Ia tidak mengasihi manusia, Ia tidak maha kuasa, dan Ia bukan untuk disembah.

Namun begitu, argumen Plato akan Tuhan-Pencipta, dipadukan dengan pengharapan yang didasarkan pada Alkitab yang melihat perbuatan karya Tuhan dalam ciptaan (Mazmur 19:1, Roma 1:20), mendorong para ahli teologi abad pertengahan untuk meneguhkan bahwa secara mendasar terdapat kejelasan untuk dimengerti dalam ciptaan Tuhan. Meskipun Augustinus tidak menyukai studi tentang alam secara sistematis, konsep akan keteraturan alam yang mendasar memberikan kunci untuk berkembangnya ilmu pengetahuan (Jones, 1969, hal. 133).

Selama periode yang sama ini, ilmu pengetahuan Arab-Islam telah mencapai tingkat sangat tinggi. Ia memimpin dunia dalam bidang matematika, fisika, optik, astronomi, dan pengobatan. Stabilitas dan kemakmuran yang dibawa oleh berkembangnya kekuasaan Islam pada abad ke-7 dan 8 membantu berkembangnya perlindungan terhadap penelaahan yang lebih tinggi. Pada th. 762, al-Mansur mendirikan Baghdad sebagai ibukota yang baru, dan “mengembangkan iklim keagamaan yang secara relatif intelektual, sekuler dan toleran” (Lindberg, 1992, hal. 168).

Selama beberapa generasi ke depan, kaum terpelajar Arab mengembangkan pengetahuan mereka akan obat-obatan dari Persia, matematika dari Cina dan India, dan juga peninggalan karya klasik Yunani yang masih tersimpan di Bizantium. Penekanan diberikan pada ilmu-ilmu pengetahuan yang memiliki kegunaan khusus bagi kebudayaan Islam. Sebagai contoh, sempoa Cina, dan sistem Hindu mengenai angka dan notasi-desimal untuk tempat, digunakan untuk mengembangkan trigonometri dan astronomi Ptolomeus. Ini, pada akhirnya, bisa digunakan untuk menentukan arah ke Mekah dan waktu sembahyang bagi setiap kota di dunia berpenduduk Muslim.

Saat krusial dalam perkembangan ilmu pengetahuan Arab adalah ketika dijalankan program penerjemahan besar-besaran yang dimulai oleh Hunayn ibn Ishaq (808-73), seorang anggota kumpulan Kristen Nestorian. Bangsa Arab mengisi sejumlah besar perpustakaan mereka dengan puluhan – atau ratusan- ribu buku, sementara Sorbonne di Paris bisa membanggakan koleksi 2000 buku baru pada abad ke-14 (Huff, 1993, hal. 74). Meski memiliki superioritas yang sudah jelas, mengapa ilmu pengetahuan modern bangkit di Barat, dan bukannya di dunia Islam?

Beberapa pemimpin Muslim, seperti halnya pemimpin Eropa dalam abad pertengahan, memiliki penghargaan yang rendah akan studi alam semesta. Pendidikan akademis ditoleransi, tapi penelaahan dibagi menjadi: studi tradisional berdasarkan AlQuran, dan studi “asing” berdasarkan pengetahuan yang diperoleh dari Yunani. Meskipun terdapat kaum rasionalis, terdapat juga mereka yang melihat rasionalisme sebagai ancaman bagi otoritas Kitab Suci maupun tulisan lainnya.

Reaksi yang konservatif dalam akhir abad ke-10, seiring dengan kemunduran perdamaian dan kemakmuran, menghambat berkembangnya ilmu pengetahuan selanjutnya bagi dunia Muslim (Lindberg, 1992, hal. 180-181). Menurut ortodoksi Islam yang lalu muncul, manusia bukanlah sepenuhnya makhluk yang rasional, dan tidak boleh ada ruang yang diijinkan untuk penyelidikan yang murni rasional terhadap ciptaan Tuhan (Huff, 1993, hal. 100,115).

Tepat pada masa awal kemunduran inilah tongkat estafet ilmu pengetahuan mulai beralih secara bertahap kepada tangan orang-orang Eropa, khususnya mereka yang berhubungan dengan kekayaan pengetahuan Islam di Spanyol. Mungkin hal paling penting berikutnya adalah jatuhnya kota yang dikuasai kaum Muslim, Toleda, pada tahun 1085. Banyak karya-karya penting klasik Arab dari sejumlah besar perpustakaannya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin.

Dalam seabad, karya-karya ini mulai merembes ke pusat-pusat penelaahan di seluruh Eropa. Mereka datang pada saat para kaum terpelajar seperti Anselm (1033-1109) telah membangkitkan kembali peranan akal budi dalam kepercayaan iman. Kedatangan mereka juga bersamaan dengan perkembangan universitas sebagai entitas yang memiliki otonomi politik dan intelektual (Huff, 1993, hal. 335). Tak ada institusi serupa muncul di dunia Arab Muslim hingga abad ke-20, sebagian karena, konsep kaum Muslim ortodoks tentang alam semesta dan akal budi. Tekanan keagamaan juga memainkan peran dalam akhir abad pertengahan di Eropa, tapi dunia akademis yang selaras dengan pandangan AlKitab akan rasionalitas manusia dan kebebasan menentukan pilihan menyediakan lahan subur bagi berkembangnya ilmu pengetahuan modern.

REFERENSI

Huff, Toby E. (1993), The Rise of Early Modern Science (Cambridge, England: Cambridge University Press).

Jones, W.T. (1969), The Medieval Mind (Fort Worth, TX: Harcourt Brace Jovanovich, second edition).

Lindberg, David C. (1992), The Beginnings of Western Science (Chicago, IL: University of Chicago Press).