Seorang anak gadis yang masih kecil, menjerit kesakitan saat disunat. Keluarga dari 248 anak-anak gadis yang masih kecil, diberikan uang supaya mereka bersedia menyerahkan anak-anak gadis mereka untuk disunat dalam sebuah sunat massal yang dilakukan di kota Bandung beberapa waktu yang lalu; sebagai bagian dari perayaan untuk menghormati kelahiran Nabi Muhammad. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) berpendapat bahwa ritual itu tidak diperlukan serta mengecam praktek-praktek penyunatan atas kaum wanita.
Perisai.net - PARA aktivis mendesak Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih untuk segera mencabut peraturan menteri mengenai sunat alat kelamin perempuan karena tidak hanya melegitimasi kekerasan terhadap perempuan Indonesia, tetapi juga mungkin mengabaikan kemampuan perempuan untuk sepenuhnya menggunakan hak fundamental mereka menyangkut kesehatan reproduksi dan kebebasan, demikian The Jakarta Post. Wakil Ketua Komnas Perempuan Masruchah mengatakan Kamis, 23 Juni, Peraturan Menteri Kesehatan No 1636/2010 tentang sunat alat kelamin perempuan telah mencoreng komitmen pemerintah dalam melindungi kesehatan reproduksi dan kebebasan perempuan. “Ini sangat menyedihkan jika melihat kemunduran seperti itu karena kita telah mencapai beberapa perbaikan dalam melindungi hak-hak perempuan,” kata Masruchah dalam konferensi pers yang diadakan oleh Amnesty International dan berbagai Kelompok Masyarakat Madani Indonesia. Sebagai bagian dari komitmen untuk melindungi hak atas kesehatan reproduksi dan kebebasan, dirjen kesehatan publik dari Departemen Kesehatan telah menerbitkan surat edaran tahun 2006 yang melarang pekerja kesehatan profesional, termasuk perawat, bidan, atau dokter, untuk melakukan sunat alat kelamin perempuan. Setelah mengadakan serangkaian studi, departemen tersebut tahu bahwa teknik sunat yang dipraktekkan di sejumlah daerah di Indonesia itu ternyata kejam, demikian Komnas Perempuan, namun praktek-praktek itu bukannya dicegah, malah didukung dengan dikeluarkannya peraturan tahun 2010 tersebut. “Di Bone, Sulawesi Selatan, penganut agama Islam yang telah berurat-berakar dalam kebudayaan patriarki mendefinisikan sunat alat kelamin perempuan sebagai pemotongan klitoris seluruhnya. Ini sangat berbahaya karena tidak saja merugikan perempuan tetapi juga sangat mempengaruhi kesehatan reproduksi mereka,” kata Masruchah. Peraturan tersebut menetapkan, antara lain, bahwa sunat harus diberikan hanya oleh pekerja medis resmi. Sunat tidak harus menghilangkan bagian manapun dari alat kelamin, tetapi hanya menoreh kulit permukaan klitoris. “Bagaimana mereka (pemerintah) bisa mengizinkan sunat alat kelamin perempuan, sedangkan sebelumnya telah dilarang praktek tidak manusiawi seperti itu? Ini merupakan suatu kemunduran,” kata aktivis hak-hak perempuan Ratna Batara Munti. Komnas Perempuan mendesak departemen tersebut untuk melarang sunat tersebut sama sekali. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, World Health Organization), mutilasi alat kelamin perempuan mengacu pada prosedur yang sengaja melukai organ genital perempuan untuk alasan non-medis. Maksudnya untuk kesehatan bagi anak gadis dan perempuan, namun ternyata justru menyebabkan pendarahan dan masalah buang air kecil. Ini bahkan dapat menyebabkan komplikasi selama persalinan, sehingga risiko kematian bayi menjadi lebih tinggi, demikian WHO. Sekitar 100-140 juta gadis dan perempuan di seluruh dunia menderita masalah reproduksi yang disebabkan oleh sunat alat kelamin perempuan. Indonesia dan negara-negara di Afrika dan Timur Tengah adalah daerah dengan jumlah tertinggi kasus sunat kelamin perempuan. © Cath News Sumber: buktidansaksi.com Artikel Terkait: "Female Genital Mutilation" |