NONSENSE: Kisah Baitullah Mekah Yang Dibangun Nabi Ibrahim (Part-2)

Kita ingat bahwa Ismail (dan bukan Ishaq) dipercaya oleh Muslim sebagai anak yang akan Ibrahim sembelih, bukan? Nah, jikalau Ismail diantar oleh Ibrahim ke Mekah sewaktu bayi dan baru bertemu muka kembali setelah puluhan tahun kemudian (yaitu ketika Ismail sudah dua kali kawin), maka kapan dan dimana dan pada umur berapa Ismail itu menjadi anak yang akan disembelih Ibrahim menurut perintah Allah dalam QS. 37:102 ff? Bukankah Quran berkata bahwa “sang anak” yang akan disembelih itu mencapai usia bisa bekerjasama, yaitu seumur awal remaja dan belum menikah? Lalu Ismail mau disembelih dimana:

Apakah di Kanaan atau di Mekah? Agaknya ini akan menjadi puzzle-game yang tak bisa diserasikan lagi, kecuali mengarang dongeng baru

Oleh: Ram Kampas

(D). Hadist Bukhari 55:583-584, Bukti Telak Baitullah Dilegendakan

 

Muslim terus disemangati dengan Baitullah. Dan hadist yang panjang sekali telah dihadirkan dengan periwayatan yang dianggap shahih bahwa Ibrahim telah melakukan perjalanan ke Mekah sebanyak 4 kali bolak balik untuk misi khusus proyek Baitullah. Dengan misi seakbar itu, pembaca hanya bisa heran kenapa Ibraham hanya pergi sendirian dan tidak pernah mengajak Ishaq dan Yakub dan yang lainnya untuk beribadah-raya dan haji ke Mekah, mengingat Ibrahim itu seorang “Bapak segala orang beriman”? Jawaban selayaknya adalah bahwa lagi-lagi kisah tsb hanyalah ciptaan,  story suka-suka yang tidak ambil pusing terhadap akal-sehat pendengarnya.

 

Mari kita ikuti Shahih Bukhari 55, no.584 dulu.

 

Karena panjangnya, kita ringkaskan:

 

Karena ada percekcokan antara Ibrahim dengan Sarah isterinya (yang cemburu terhadap Hagar), maka Ibrahim membawa Hagar dan Ismail yang masih orok untuk minggat (entah berangkat dari kota mana) dan sampailah mereka bertiga di “Mekah”, yang pada saat itu tidak berpenghuni. Kemudian Ibrahim meninggalkan mereka dan pulang sendirian, dan Ismail tumbuh mencapai usia dewasa dan kawin disana dengan suku Jumhur Arabia.

 

Trip ke-2 dilakukan Ibrahim, tapi tidak berhasil bertemu Ismail yang sedang berburu di padang. Ibrahim pulang dengan menitipkan pesan sandi kepada menantunya agar Ismail menceraikan istri yang satu ini. [Note: pesan sandinya, “Ganti ambang pintumu” yang bisa dipahami oleh Ismail, tetapi tidak oleh isterinya. Nabi ini bukan merukunkan keluarga, tapi langsung membubarkannya?!].

 

Trip ke-3, sama gagalnya, dimana Ibrahim tak bertemu dengan Ismail kecuali istri baru yang baik. Lalu Ibrahim memberkati keluarga baru ini.

 

Baru pada trip ke-4, Ibrahim berhasil berjumpa dengan anaknya dibelakang sumur Zamzam, sedang memperbaiki panahnya. Ismail lalu diajak untuk bersama membangun Bait Allah. Sebagai anak Ismail taat, maka berdirilah Ka’bah dengan maqam Ibrahim ….

 

Kini bandingkan dengan Bukhari 55:583, yang tidak mengisahkan apa pasalnya maka tiba-tiba Ibrahim membawa Hagar dan si kecil ke Mekah. Dan ketika mereka ditinggalkan Ibrahim disana, setelah berpisah jauh dengan Hajar, sesampai di Thaniya, Ibrahim sempat menghadapkan wajahnya ke KA’BAH (apa benar lokasi Ka’bah bisa diketahui Ibrahim diam-diam, atau hanya atas suara Tuhan yang eksplisit?), lalu menaikkan kedua tangannya untuk berdoa kepada Allah untuk memelihara keturunannya di lembah yang gersang itu… dst.

 

Hadis Bukhari 55 no. 583 dan 584 tidak sinkron narasinya, saling berbeda jauh. Bagaimana kita dapat meyakini keabsahan keduanya untuk periwayatan yang begitu penting? Dan bagaimana kita harus menalarkan perjalanan yang bodoh itu bisa dikenakan oleh Allah kepada sahabatNya Ibrahim? Kenapa Allah menyia-nyiakan perjalanan berat NabiNya sebanyak dua kali tanpa bertemu dengan anaknya? Banyak sekali yang harus dipertanyakan disini. Tetapi baiklah kita batasi untuk satu yang paling konyol.

Ya, kita ingat bahwa Ismail (dan bukan Ishaq) dipercaya oleh Muslim sebagai anak yang akan Ibrahim sembelih, bukan? Nah, jikalau Ismail diantar oleh Ibrahim ke Mekah sewaktu bayi dan baru bertemu muka kembali setelah puluhan tahun kemudian (yaitu ketika Ismail sudah dua kali kawin), maka kapan dan dimana dan pada umur berapa Ismail itu menjadi anak yang akan disembelih Ibrahim menurut perintah Allah dalam QS. 37:102 ff? Bukankah Quran berkata bahwa “sang anak” yang akan disembelih itu mencapai usia bisa bekerjasama, yaitu seumur awal remaja dan belum menikah? Lalu Ismail mau disembelih dimana:

 

Apakah di Kanaan atau di Mekah? Agaknya ini akan menjadi puzzle-game yang tak bisa diserasikan lagi, kecuali mengarang dongeng baru!

 

(E). Ismail, Bukan Nabi Yang Diabsahkan Allah !

 

Pernyataan ini mengagetkan, maka kita mau berbicara lebih rinci disini. Konsep kenabian dalam Islam sangat sumir dan membingungkan, ketika dihadapkan dengan fakta. Siapa-siapa nabi-nabi Islam yang sudah dimeterai oleh Allah secara absah dan diketahui oleh saksi mata? Muhammad sendiri menyebutkan (telah) ada 124.000 nabi dan 315 diantaranya adalah Rasul yang telah diutus oleh Allah (HR Musnad Ahmad no. 22288). Mereka telah ditempatkan di setiap negeri di bumi dan berbicara dalam bahasa ibu mereka (mungkin demi keadilan Tuhan?)

 

Jadi, adakah Kong Hu Cu, Lao Tze, Buddha, Brahman dll termasuk nabi-nabi islami juga? Sebab nabi (dan rasul) dalam definisi formal Islam adalah orang yang ditandai dengan mendapatkan wahyu Allah – walau tidak diperintahkan khusus untuk menyampaikannya sebagaimana halnya dengan Rasul.

 

 

Dengan definisi sesimpel ini maka seseorang (dengan bakat/keistimewaan khusus tertentu) yang MENGKLAIM dirinya mendapat wahyu “Allah” akan sulit dibedakan dengan Nabi Tuhan Sejati. Bukankah lalu Lia Aminuddin (Lia Eden) memenuhi syarat kenabian seperti ini? Atau Mirzā Ghulām Ahmad, pendiri Ahmadiyah pantas dinobatkan sebagai nabi terakhir?

 

 

Dan bagaimana dengan Rasul Allah? O, dialah “nabi” yang diutus untuk memberitakan pesan-pesan “wahyu-Allah” yang di-KLAIM diterima olehnya…

 

 

Namun Quran hanya mampu menyebut 25 nama nabi dan rasul saja, dan banyak diantaranya justru tidak  menyandang “tanda” kenabiannya, dan tidak diketahui apa misi dan peran kenabiannya! Mereka – si abc atau xyz – hanya di-KLAIM sebagai nabi, dan nabilah dia! Sebaliknya Alkitab mendefinisikan kenabian amat sangat ketat dan spesifik agar tidak mudah dikelirukan setan dan iblis kepada nabi-nabi palsu. Dialah orang yang dipilih khusus dan ditandai dengan URAPAN kenabian (biasanya lewat pemeteraian khusus dari Imam atau Nabi sebelumnya) yang dimanifestasikan dengan kuasa Roh Tuhan (awas, bukan ruh malaikat); ini yang memberinya pendengaran dan penglihatan-ilahiah langsung dari Roh dan firmanNya, sehingga orang pilihan tersebut berbicara atas nama Tuhannya, yang dibuktikan dengan kuasa bernubuat atau mukjizat adikodrati.

 

Itu sebabnya nabi-nabi Islam tersebut tidak dikenal oleh Alkitab atau juga tidak dianggap sama-sekali sebagai nabi Tuhan. Tak ada nabi Islamik yang ditandai dengan bukti kuasa nubuat ilahi atau mukjizat adikodrati (kecuali dongeng atau yang dijiplak kisahnya dari Alkitab).

 

 

Tak ada satupun dari mereka yang dipenuhi oleh Roh Kudus, bahkan juga tidak mengenal Roh Kudus (Qs.17:85). Ini terlihat dari asumsi Islam yang keliru seolah Roh Kudus (Rohnya Tuhan sendiri) itu sama saja dengan Jibril. SALAH!  Peran khusus Roh Kudus hanya tampak dikenakan kepada diri Isa-Almasih yang selalu dikaitkan secara TRIO kepada Allah dan Ruhulqudus (Allah Tritunggal Islam?) disamping ia pasti juga mampu memberi wahyu seperti para malaikat lain (lihat QS.2:87, 253; 5:110, dan 16:102 sebagai peran malaikat lainnya untuk berwahyu!). Peran istimewa dalam ke-TRIO-an ini tidak pernah dikenakan kepada Muhammad atau kepada yang lainnya!

 

“Nabi-nabi” Islam seperti Hud, Shalih, Syu’aib, diikuti oleh Zulkifli dan Idris (yang hendak dispekulasikan secara khayal oleh Muslim sebagai Henokh dan Yesaya di Alkitab) adalah sosok yang total asing dari Alkitab. Dan yang lucu, Harun dan Zakharia (ayah nabi Yahya) telah dianggap oleh Muhammad sebagai nabi. Padahal peran mereka bukanlah selaku Nabi melainkan IMAM Besar, pejabat tinggi agama dalam segala ritual penyembahan kurban, doa syafaat, dan pemberkatan! Muhammad kurang memahami bahwa Allah mendampingkan Imam Harun kepada Nabi Musa hanya untuk dua maksud. Sebagai juru-bicara Musa, dan sebagai imam agama untuk persiapan melayani jutaan umatNya kelak dalam peribadatan penyembahan. 

 

 

Berlainan dengan Yudaisme dan kekristenan, pewahyuan dalam Islam menjadi sangat rancu dan rawan tatkala Muslim harus berasumsi bahwa segala pewahyuan Allah, utamanya ditransmisikan oleh seorang Jibril yang mahluk, bukan langsung dari mulut Allah. Tapi asumsi ini pulalah yang memperkuat bukti bahwa Nabi Musa tidak bisa diper-duet-kan kenabiannya dengan “nabi” Harun. Sebab distribusi wahyu tidak dapat diturunkan oleh satu malaikat Jibril (makhluk yang tidak maha-ada) kepada beberapa pihak sekaligus sepanjang hayat mereka sebagai Nabi. Apalagi pada masanya “nabi” Zakaria; apakah ia boleh diper-TRIO-kan kepada Nabi Yahya dan Nabi Isa sekaligus membentuk Nabi-Trinitas Islam? Bahkan bisa Nabi-Quarto Islam, mengingat Maryam juga dimasukkan sebagai nabiah Islam yang menerima wahyu pada masa yang sama itu. Mustahil Jibril berkapasitas Maha-Ada, hadir dan berwahyu simultan. Lain halnya dengan konsep pewahyuan Alkitab dimana Roh Tuhan yang Maha-Ada memang melakukan itu semua sekaligus. 

 

 

Dengan analogi yang sama, maka 3 nabi-nabi Islamik, yaitu ISMAIL, LUTH dan IBRAHIM tidak bisa menjadi NABI-TRINITAS simultan secara bersamaan dizamannya! Ya, tidak bisa bukan hanya karena Jibril tidak maha-ada, tetapi Allah SWT sendiri juga mengharamkannya! Pertama, Ia mengharamkan Allah-Trinitas bagi diriNya, dan itu terlebih lebih berlaku bagi para UtusanNya yang mewakiliNya di dunia. Ia berkata,

 

 

“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain” (QS.23:91).

 

 

Alasannya adalah terjadinya keruntuhan Kerajaan Ilahi bilamana Allah dipersekutukan dengan Allah selainnya! Mereka, yaitu 3 Allah–Allah akan saling bercakaran dan mengalahkan! Bila demikian halnya, maka ayat itu (yang tampaknya berorientasi kepada logika manusia) akan terlebih-lebih berlaku bagi manusia yang lebih haus bercakaran diantara sesamanya, termasuk “nabi-nabi” yang dipersekutukan oleh Allah swt sendiri!

 

 

Wawasan Muhammad terhadap Alkitab bukan berasal dari Tuhan Alkitab yang mewahyukan Alkitab (via Abraham, Ishak, Yakub, Yusuf, Musa…), melainkan berasal dari hasil dengar-dengaran secuplik-secuplik isu lepas dan dongeng oral kenabian Alkitab yang beredar di Arabia pada zamannya. Banyak yang berasal dari lingkungan istrinya (Khadijah, Waraqah, kaum Hanif, pedagang, budak dan istri Muhammad eks-Yahudi dan Nasrani dll. Ditambah dengan bisikan-bisikan dari ruh gua-Hira yang mengaku-ngaku berasal dari Tuhan Alkitab yang sama). Itu sebabnya Muhammad  tidak paham akan konsep kenabian dan pewahyuan. Tidak ada wahyu Tuhan yang sengaja menteror seorang nabiNya (seperti “wahyu” gua Hira). Tidak ada wahyu yang anti-kronologi (seperti Quran yang ayat dan suratnya dikacaukan kronologinya). Tidak ada ayat yang disusulkan kemudian lalu menggantikan yang keduluan, atau malah disisipkan diantara ayat-ayat sebelumnya [lihat misalnya catatan-kaki pada mukadimah Quran terjemah Depag pada Surat Yunus (Makkiyyah), dimana ada 3 ayat Medina disisipkan kedalamnya belakangan]. Dll. Dll. Tetapi Quran justru mendemonstrasikan semua semrawut dan penyimpangan tersebut yang mengkerdilkan Allah Yang Maha Rapi (11;1). Allah sering terbukti memberi wahyu yang keliru kepada Muhammad, dimana Allah sendiri sebagaimana halnya Muhammad sama-sama tidak sadar akan kekeliruanNya. Misalnya, ketika berwahyu kepada Muhammad di surat Maryam, dikatakan bahwa Allah sendiri yang berbincang-bincang langsung dengan Zakaria (QS. 19:1-10). Namun ketika wahyu yang sama diulangiNya dalam surat Ali-Imran, maka para malaikatlah (jamak) yang diutusNya untuk menyampaikan pesan-pesan yang sama! (QS.3:39).

 

 

Nabi-nabi besar di Alkitab seperti nabi Samuel yang memeteraikan Daud sebagai Raja tidak diketahuinya samasekali. Nabi besar Yesaya yang terkenal dengan nubuat dahsyat mesianik dan Yeremia yang dikenal sebagai “nabi ratapan” yang kitabnya paling panjang diseluruh Alkitab, juga lolos dari pengetahuannya. Pekerjaan Zakharia sebagai Imam besar disalah-pahami Muhammad menjadi sebagai pemelihara Maryam (Maria) di Bait Allah, termasuk urusan makannya (QS.3:37), padahal baik Zakharia maupun Maria keduanya tinggal jauh berbeda dan bukan di Yerusalem, apalagi di Bait Tuhan. Dalam otak Muhammad, sosok Maria ibu Yesus (diabad ke-1) juga tercampur salah dengan Miryam, kakaknya Harun dan Musa (diabad ke-15 SM), dan ini berimplikasi kepada kacaunya seluruh dimensi waktu kenabian dibenak Muhammad!

 

 

Dia juga tidak tahu akan cara kerja roh (QS. 17:85) untuk membuktikan  kenabian dirinya. Ruh mana yang menjumpainya dan menggencet diirinya secara hebat di gua Hira? Tidak ada perkenalan sosok dan nama ruh disitu. Ia bukan otomatis “Jibril” seperti yang Muslim asumsikan. Nama Jibril baru muncul di Quran setelah ia belasan tahun berwahyu kepada Muhammad. Ruh gua Hira tersebut berkarakter menteror. Dikira Muhammad bahwa ruh itu jin, dan dia berlari pulang dalam ketakutan. Dia hanya bisa ditenangkan oleh istrinya lewat waktu, kesabaran dan kegigihan Khadijah yang luar biasa, sampai-sampai melakukan apa yang dikenal sebagai “test-paha-Khadijah” (lihat Sirat Ibn Ishaq, p.107). Yang mana juga diakui dalam mukadimah The Glorious Qur’an, translation Mohammed M.Pickthall. Secara keseluruhan, tanpa Khadijah maka Muhammad tidak pernah akan bisa tampil menjadi nabi Allah. “Saya telah berharap agar engkau menjadi nabi bagi orang-orang ini”, kata Khadijah. Dan jadilah dia NABI (!) tanpa pengangkatan atau pemeteraian absah siapapun!

 

 

Namun Muslim tetap bersikukuh bahwa Muhammad telah diangkat menjadi NABI ketika wahyu diturunkan pertama di gua Hira itulah! Wahyu yang turun pertama di Hira? Itukan lima ayat Surat Al-Alaq, ayat 1-5, yang mudah dapat dicek kembali? Tak ada ayat pengangkatan kenabian apapun disitu! Muslim telah dibingungkan antara dua jenis “pengangkatan nabi”, yang formal dari Allah, dan yang wishful-thinking dari khayalan sendiri!  Sungguh, Allah tidak pernah mentahbiskan Muhammad menjadi nabi di gua Hira, walau seharusnya begitu terhitung sejak ia pertama kali diberi wahyu! Maka cacat kenabian pun melekat tersandang selamanya kepada diri Muhammad…

 

 

Dan kini Ismail? Kapan ia diurapi menjadi nabi dan rasul pula? Tatkala berumur berapa dan sedang apa di Mekah (atau Kanaan, atau berhadapan dengan siapa?).

 

Jikalau kenabian Nabi Besar Islam saja tidak terabsahkan, bagaimana pula dengan Ismail yang kecilan? Tampaknya nabi ini memang HARUS disempalkan dalam internal Quran demi bisa memberikan benang merah kesinabungan dengan kemunculan seorang nabi Arab dikemudian hari. Kita akan memaparkannya lebih.

 

Mari kini kita periksa bahwa Ismael sejak semula tidak lahir sebagai “anak perjanjian” dari Tuhan atau berupa anak mukjizatNya. Ismael hanyalah anak hasil rencana kedagingan Sarah yang tidak sabar akan janji Tuhan. Sedemikian sehingga Sarah menyodorkan hambanya Hagar kepada Abraham yang sudah uzur itu agar masih keburu mendapat anak sebelum “mati-pucuk”. Tak ada janji, nubuat atau kuasa mukjizat yang Tuhan nyatakan bagi kehamilan Hagar. Ismail dilahirkan secara biasa dari usia subur ibunya yang sehat dan masih muda. Lain halnya dengan Ishak, yang Tuhan sendiri janjikan secara ajaib dan spesifik kepada Abraham dan Sarah yang sudah berumur 90 tahun dan mati rahim (Kej 18:11). Tuhan menegaskan berulang kali bahwa perjanjianNya adalah kekal hanya untuk garis keturunan Ishak dari rahim Sarah, dan bukan Ismael atau keturunannya, dengan firmanNya yang eksplisit menolak Ismael:

 

 

“Aku akan memberkatinya (Sara), dan dari padanya juga Aku akan memberikan kepadamu seorang anak laki-laki, bahkan Aku akan memberkatinya, sehingga ia menjadi ibu bangsa-bangsa; raja-raja bangsa-bangsa akan lahir dari padanya." (Kejadian 17:16)

 

 

Dan Abraham berkata kepada Elohim: "Ah, sekiranya Ismael diperkenankan hidup di hadapan-Mu!"  Tetapi Elohim berfirman: "Tidak, melainkan isterimu Sara lah yang akan melahirkan anak laki-laki bagimu, dan engkau akan menamai dia Ishak, dan Aku akan mengadakan perjanjian-Ku dengan dia menjadi perjanjian yang kekal untuk keturunannya” (Kejadian 17:18-19).

 

 

Firman-Nya: "Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu." (Kejadian 22:2).

 

Dalam Alkitab, Tuhan menyebut Ishak sebagai “anak-perjanjian-Nya” dan anak tunggalmu (Abraham). Pihak Islam segera menuding bahwa “anak tunggal” Abraham hanya mungkin disandang Ismail dan mustahil Ishaq sebagai anak kedua. Tetapi mereka tidak sadar andaikata Tuhan memang merujukkan Ismail dan bukan Ishak, maka tentu Ia akan memakai istilah “anak-sulungmu” dan bukan “anak-tunggal”. Sebab untuk menyandang title anak-tunggal bagi Ismael, Muslim harus membuktikan dari sumber Alkitab pula bahwa Ishak belum lahir ketika perintah penyembelihan diberikan Elohim  kepada Abraham. Dan Alkitab jelas mencatat bahwa Ishaq justru sudah hadir dan memasuki masa remajanya.

Muslim perlu memahami bahasa dan linguistic style Alkitab yang berbeda dengan Arab. Tuhan tidak sedang berbicara literal harafiah disini, melainkan menekankan idiom rohani yang hanya mengakui anak-perjanjianNya yang satu satunyatunggal, bukan sulung sebagai Anak Abraham. YAKNI ISHAK (Kejadian 22:2). Dan benarlah itu, sebab ayat-ayat selanjutnya dari pasal 22, seluruhnya mengkonfirmasi bahwa hanya Ishak saja sebagai anak kurban. Dan tentu anak yang layak dikurbankan bagi Tuhan hanyalah Anak-PerjanjianNya, yaitu kembali lagi kepada Ishak dan mustahil Ismail!

Untuk lebih menghukum pendebat nekad Muslim, Allah dalam Quran justru ikut memberi konfirmasi bahwa hanya garis keturunan Ibrahim, Ishaq dan Yakub saja yang bisa disebut “keturunan kenabian dan kitab” (QS.29:27), dan ini tidak mencakup Ismail! Ini dipertegas lagi dengan kenyataan bahwa Allah tidak pernah berbicara dengan dia sekalipun. Rupanya Ismail hanyalah nabi sempalan dan “anak saleh biasa” yang harus ditambahkan Muhammad secara retorika dalam Quran karena mitos Baitullah yang harus dipertahankannya, dan “darah Arab” Ismail yang harus ditampilkan demi mencocokkannya kedalam alur darah Muhammad.

 

Lihat diseluruh Quran, betapa nama Ismail hanya dijejerkan – tanpa bobot tanpa peran – kepada sederetan nama nabi-nabi lain dalam Quran, khususnya dijejerkan secara inferior terhadap Ishaq, Yaqub dan Yusuf.

 

1.      Allah tidak sekalipun berbicara (berfirman) dengan Ismail.

 

2.      Tak ada kitab yang diturunkan langsung kepadanya.

3.      Tak ada mukjizat Allah yang dipunyainya atau yang bisa diperlihatkannya kepada kaum Arabnya.

Padahal Islam sendiri telah mendefinisikan bahwa Nabi dan Rasul adalah ia yang “mendapat wahyu khusus dari Allah untuk menyampaikannya” sama seperti yang juga telah dilakukan oleh Lia Eden, Mirzā Ghulām Ahmad dll. Jadi, dimanakah dalil teologisnya bahwa Ismail itu Bapak nabi Arab dan rasul Allah? Lalu kenapa Muslim disebut keturunan nabi Ibrahim-Ismail sementara bani Yahudi adalah keturunan babi dan monyet-monyet? Nalar dan akal sehat manusia tidak akan mampu mencerna hal ini.

Akhirnya sebagai tambahan renungan, kenapa Muhammad turut mengosongkan “sosok keismailan” dalam event-event terpenting Ismail? Lihat kasus penyembelihan  anak Ibrahim dalam Quran (cek di Surat As Shaffaat 37:100-110) ataupun kasus pertemuan Muhammad dengan para-nabi di perjalanan mikraj Ibrahim ke sorga.
Di kedua event penting tersebut tidak sekalipun nama Ismail disebut. Ismail hanya hiasan mulut, tapi tidak ada dalam benak Muhammad. Malahan dalam Mikraj, ketika bertemu dengan Ibrahim-pun, Muhammad juga tidak berani menyinggung apa-apa tentang proyek Baitullah yang paling berharga diwariskan Ibrahim-Ismail kepadanya. Quo vadis, Ismail dan Baitullah?